Mediaumat.news – Keputusan Menteri BUMN Erick Thohir mengangkat musisi Abdee ‘Slank’ sebagai komisaris PT Telkom Indonesia disebut sebagai bagian dari balas budi untuk tim sukses yang bekerja dalam pilpres kemarin.
“Ini bagian dari balas budi bagi tim sukses yang telah bekerja dalam pesta demokrasi nan super mahal itu,” ujar Direktur Pamong Institute Wahyudi al-Maroky kepada Mediaumat.news, Ahad (30/5/2021).
Wahyudi melihat, ada dua indikasi yang sangat kuat kenapa aroma bagi-bagi jabatan itu sangat menyengat, bahkan begitu anyir baunya.
Pertama, karena sejak awal Abdee tidak profesional di jabatan itu. “Bukankah ia profesional sebagai artis? Kenapa dipaksa memegang jabatan komisaris yang bukan merupakan keahliannya?” beber Wahyudi.
Kedua, karena Abdee mendukung Jokowi saat pilpres kemarin. Seandainya ia tidak mendukung Jokowi mungkin jabatan itu akan diberikan kepada yang lain.
Wahyudi menilai, bagi-bagi jabatan itu bukan hanya kepada Abdee saja. Sebelumnya sudah ada para pendukung Jokowi yang diberi jabatan komisaris seperti; Fadjroel Rachman (Komisaris Utama Adhi Karya), Andi Gani Nena Wea (Preskom PT Pembangunan Perumahan), Ulin Yusron (komisaris di PT Pengembangan Pariwisata Indonesia), Arif Budimanta (komisaris PT Bank Mandiri), Irma Suryani Chaniago (Komisaris Independen PT Pelindo I), Kristia Budiyarto dihadiahi komisaris PT Pelni, dan masih banyak yang lainnya.
Dan bagi-bagi jabatan itu, kata Wahyudi, bukan hanya pada jabatan komisaris saja, nyaris di semua jabatan yang memungkinkan bisa dibagi maka akan dibagi-bagi. Mulai dari jabatan menteri, wakil menteri, staf khusus presiden, staf khusus di wapres, staf khusus menteri, dan lain-lain.
Bahkan, menurut Wahyudi, jika sudah tidak ada lagi jabatan yang bisa dibagi-bagi maka akan dibuat jabatan baru. Ia mencontohkan, ketika semua jabatan menteri sudah habis terbagi, tapi ternyata masih ada yang belum kebagian, maka dibuat jabatan wakil menteri.
Bisa Terkategori Korupsi
Wahyudi menyebut, bahwa bukan rahasia umum lagi jika jabatan komisaris tersebut gajinya sangatlah besar, bisa mencapai ratusan juta bahkan ada yang miliaran per bulan. Itu dibayar dengan uang BUMN yang merupakan milik negara dan potensi mengurangi jumlah pemasukan bagi negara.
“Jadi kalau orang yang ditunjuk bukan profesional bahkan terkesan sebagai balas jasa mestinya hal seperti ini bisa terkategori korupsi,” ungkapnya.
Namun, lanjutnya, dalam sistem demokrasi, untuk menentukan korupsi dan tidak itu tergantung kesepakatan. Jika penguasa (eksekutif) dan DPR (legislatif) sepakat membuat aturan, maka suatu perbuatan yang semula termasuk korupsi bisa saja berubah tidak lagi termasuk korupsi.[] Agung Sumartono