Mediaumat.news – Pertumbuhan ekonomi kuartal II/2021 yang oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tercatat 7,07% year on year (yoy), jauh melebihi perkiraan kebanyakan ekonom dan pelaku keuangan, yaitu sekitar 5%, dinilai Ekonom Senior INDEF Dr. Ir. Dradjad Hari Wibowo, M.Ec. sangat rapuh.
“Konsumsi dan ekspor tumbuh relatif tinggi. Namun, saya juga mengingatkan bahwa pertumbuhan tersebut masih sangat rapuh,” ujarnya
Menurut Dradjad, rapuhnya pertumbuhan ekonomi kuartal II/2021 dikarenakan beberapa alasan. Pertama, basis perhitungan yang rendah. Angka 7,07% itu, jelasnya, diperoleh dari basis Produk Domestik Bruto (PDB) yang anjlok drastis tahun lalu yang minus 5.32% pada kuartal II/2020
Sebagai ilustrasi, Dradjad mengibaratkan ia punya 100 medali pada tahun 2019. Tahun 2020, anjlok menjadi 100-5,32=94,68. Pada tahun 2021 jumlah medalinya menjadi 101.75. Sedangkan angka 101,75 tersebut, mencerminkan kenaikan 7,07% dibandingkan dengan kondisi 2020. Sehingga tambahnya, jika dibandingkan angka dasar 100, kenaikan di 2021 sebenarnya hanya 1,37%
Kedua, tercapainya angka pertumbuhan 7.07% karena faktor pelonggaran pergerakan orang pada kuartal II/2021. “Efeknya, konsumsi tumbuh 5,93%, lebih tinggi dari ‘biasanya’. Beberapa tahun terakhir, konsumsi ‘biasanya’ tumbuh sedikit di atas atau di bawah 5%,” jelasnya.
Namun di saat bersamaan, ia justru menyayangkan pelonggaran tersebut yang telah terbukti membuat kasus COVID-19 di Indonesia meledak ditambah dengan tingkat kematian yang tinggi.
Sehingga ungkap Dradjad, kondisi itu memaksa pemerintah menerapkan PPKM darurat dan PPKM level 4 di berbagai provinsi selama Juli hingga awal Agustus atau hampir separuh dari kuartal III/2021. “Jelas, pertumbuhan konsumi akan anjlok, meski mungkin tidak akan negatif karena kita berangkat dari basis yang rendah,” tandasnya.
Efek lain yang patut dijadikan bahan evaluasi adalah ketika Indonesia ditempatkan oleh Bloomberg sebagai negara yang paling rendah skor ketahanan pandeminya. “Kita berada pada urutan 53 dari 53 negara yang masuk dalam Bloomberg Resilience Score (BRS),” ungkapnya.
Dengan BRS yang buruk itu, tegasnya, akan bisa mengganggu kepercayaan investor dan konsumen terhadap Indonesia pada kuartal III/2021 dan ke depannya.
Ketiga, selisih antara pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan konsumsi yang cukup besar dan di luar kebiasaan. Meski demikian, ia masih harus melihat tren ke depan untuk mengetahui apakah hal ini hanya lonjakan sesaat atau awal perubahan yang lebih mendasar.
“Jika yang terjadi adalah lonjakan sesaat dari komponen pengeluaran yang lain, ini menandakan lebih tingginya tingkat kerapuhan dari pertumbuhan ekonomi. Karena, konsumsi sebagai soko gurunya cenderung menurun di kuartal III/2021,” pungkasnya. []Zainul Arifin