Mediaumat.id – Terkait pemahaman sebagian pihak terhadap khilafah sebagai sembarang sistem pemerintahan, Pakar Fikih Kontemporer KH Muhammad Shiddiq al-Jawi menyebut, mereka tak punya basis literasi dan ngawur.
“Kalau ada orang yang mengatakan khilafah itu artinya adalah sembarang pemerintahan, itu berarti tidak mempunyai basis literasi. Itu bahasa halusnya. Kalau bahasa tegasnya itu ngawur,” ujarnya dalam Kajian Dhuha: Definisi Khilafah, Senin (4/4/2022) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.
Bahkan kalau ada yang ngomong Amerika Serikat (AS) maupun Indonesia sudah khilafah, berarti pihak terkait memang dalam keadaan buta literasi alias belum mengerti keterangan sebenarnya mengenai khilafah.
Celakanya, pernyataan itu diduga kuat memang untuk menyesatkan umat. “Mungkin mengerti, tapi maksudnya adalah untuk menyesatkan umat Islam, untuk membingungkan umat Islam,” khawatirnya.
Maka itu, dengan dilatarbelakangi tidak sedikitnya orang yang memahami khilafah dengan pengertian yang salah, ia merasa perlu menjelaskan. “Di sinilah kita perlu memberikan satu penjelasan yang mungkin lebih detail bahwa yang namanya khilafah itu maknanya memang sistem pemerintahan,” lugasnya.
Namun sebelum itu, kata Kiai Shiddiq, sistem pemerintahan yang dimaksud memiliki sifat yang lebih khusus. Yaitu identik dengan ciri-cirinya yang menerapkan hukum-hukum Islam untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.
“Itulah yang menjadi ciri-ciri yang pembeda, faktor yang determinan (menentukan) atau yang membedakan sistem pemerintahan Islam yang disebut khilafah itu dengan sistem-sistem pemerintahan yang lain,” urainya.
Sehingga tidak bisa kemudian AS, kata Kiai Shiddiq, disebut khilafah karena memang tidak menerapkan hukum Islam. “Di sana minuman keras itu boleh, pornografi boleh. Kan itu berarti tidak mungkin disebut sistem pemerintahan Islam itu juga tidak mungkin,” ungkapnya.
Begitu pun Indonesia. “Di Indonesia ini walaupun menerapkan hukum Islam tetapi kan parsial, hanya untuk ranah privat,” beber Kiai Shiddiq dengan memisalkan hukum privat pernikahan dan perceraian. Bukan pada hukum publik.
Sehingga, sekali lagi Kiai Shiddiq menegaskan, Indonesia saat ini belum bisa disebut sebagai khilafah.
Makna Khilafah
Khilafah, sebagaimana penjelasan di dalam kitab fikih para ulama, sambung Kiai Shiddiq, agak dirinci istilahnya, yaitu al-imamah al-udzma (kepemimpinan tertinggi), atau imamah kubra dan keimaman kecil atau imamah sughra.
“Keimaman kecil, atau imamah sughra ini artinya keimaman dalam shalat. Shalat jamaah itu disebut imamah sughra,” jelasnya.
Sedangkan imamah kubra/udzma, atau kepemimpinan besar, dalam hal ini yang dimaksud adalah kepemimpinan atas masyarakat dan negara.
Jelasnya, sebagaimana penjelasan Imam Ibnu Khaldun (w. 808H), beliau mengatakan di dalam Muqaddimah, hlm. 190, ”Telah kami jelaskan hakikat kedudukan ini (imamah), dan bahwa kedudukan ini adalah pengganti dari shahibu asy-syariah, (Rasulullah SAW) dalam pemeliharaan agama dan pengaturan dunia dengan agama.”
Sebagaimana pula di dalam takmilah (prinsip sastra yang bersifat ke arah kesempurnaan) Ustaz Muhammad Najib Al-Muthi’i untuk kitab Al-Majmu’ Juz 17, hlm. 517 karya Imam Nawawi, dikatakan ‘Imamah, khilafah, atau imaratul mu’minin adalah sinonim.’
Hal serupa juga diulas Syekh M. Abu Zahrah di dalam Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah fi As- Siyasah wal ‘Aqa’id, hlm. 17. ‘Mazhab-mazhab islami seluruhnya (berbicara) seputar khilafah, yang juga disebut al-imamah al-kubra.’
Definisi
Sedangkan berkenaan dengan definisi, kata Kiai Shiddiq, terdapat lebih dari 20 pendapat tentang pendapat atas khilafah. Di antaranya, Imam Ali bin Muhammad al-Mawardi (w. 450H/1058M) dalam kitab Al-Ahkam as-Sulthaniyyah, hlm. 5.
Beliau menyampaikan, ‘Imamah (khilafah) itu ditetapkan sebagai pengganti kenabian dalam pemeliharaan agama dan pengaturan urusan dunia dengan agama.’
Kemudian Abul Ma’ali Al Juwaini juga menerangkan di dalam kitab Ghiyatsul Umam fi Iltiyas al- Zhulam, hlm.15, ‘Imamah (khilafah) adalah suatu kepemimpinan menyeluruh dan suatu pengaturan yang terkait dengan urusan khusus dan umum dalam kepentingan-kepentingan agama dan dunia.’
Berikutnya, lanjut Kiai Shiddiq, penjelasan serupa juga datang dari Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 696H) di dalam kitab Al-Iiji, Al-Mawaqif, Juz 8, hlm. 345, ‘Khilafah adalah suatu kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia bagi satu orang dari beberapa orang.’
Lalu Imam Al Baidhawi (w. 685H/1286M) dalam kitab Hasyiyah Syarah al-Thawali’, hlm. 228, ‘Imamah (Khilafah) adalah pengganti dari Rasulullah SAW oleh seseorang dalam urusan penegakan hukum syariah dan penjagaan ajaran agama, sedemikian rupa yang wajib diikuti oleh seluruh umat Islam.’
Selain itu, Syekh Abdul Hayyi al-Kattani (w. 1382H) dalam kitab At-Taratib al-Idariyyah, Juz 2 hlm. 1 juga mengatakan, ‘Khilafah adalah kepemimpinan agung dan kekuasaan umum yang menghimpun tugas pemeliharaan agama dan urusan dunia.’
Begitu juga Syekh Mustafa Shabri (w. 1954M) dalam kitab Mauqif al-‘Aql wal ‘Ilm wal ‘Alim, Juz 4, hlm. 363, ‘Imamah (khilafah) adalah pengganti dari Rasulullah SAW dalam pelaksanaan segala sesuatu yang dibawa oleh Rasulullah SAW, yaitu syariah Islam.’
Sedangkan Imam Taqiyuddin an-Nabhani (w. 1977M) dalam kitab Al-Syakhsiyah al-Islamiyyah, Juz 2, hlm. 13, menjelaskan, ‘Khilafah adalah suatu kepemimpinan umum bagi kaum Muslim seluruhnya di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia.’
Di sisi lain, lanjut Kiai Shiddiq, Dr. Hasan Ibrahim Hasan dalam Tarikh al-Islam, Juz 1, hlm. 350, pun memaparkan, ‘Khilafah menurut istilah adalah suatu kepemimpinan umum dalam urusan-urusan agama dan dunia sebagai pengganti dari Nabi SAW.’
Dengan demikian, imbuh Kiai Shiddiq, di samping memiliki sinonim imamah, khilafah lebih kepada pengertian suatu sistem pemerintahan yang diajarkan Islam dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Tak berhenti di situ, model kepemimpinannya pun dilanjutkan oleh khalifah-khalifah sebagai pengganti atau bahasa Arabnya, menurut Kiai Shiddiq, niyabah. Seperti: Abu Bakar, Umar, Usman, dst.
“Mereka sebagai pengganti dari Rasulullah, menerapkannya itu bukan hukum-hukum yang lain, tetapi hukum-hukum syariah Islam. Baik di dalam negeri maupun di luar negeri,” ujarnya dengan maksud, berdakwah menyebarkan ajaran Islam ke seluruh dunia sebagai salah satu upaya menerapkan syariah Islam secara politik luar negeri.[] Zainul Krian