Andai 5 Tahun tak Bayar Bunga, Tak Perlu Utang Rp1.700 Triliun untuk Alutsista

Mediaumat.news – Merespon wacana pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) dengan cara mengutang senilai Rp 1.700 triliun, Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak menyebut bunga utang Indonesia bisa dipakai membeli alutsista tersebut.
“Andaikan pembayaran bunga utang yang sebesar Rp370 triliun itu dipakai membeli alutsista tersebut, maka hanya dibutuhkan waktu 5 tahun saja,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Sabtu (5/6/2021).
Menurut Ishak, utang Indonesia saat ini mendekati Rp6.500 triliun, dan anggaran untuk pembayaran bunganya saja sudah lebih dari Rp370 triliun. Maka rencana pemerintah yang membiayai pembelian alutsista sekitar Rp1.700 triliun dengan menggunakan pinjaman luar negeri itu akan membuat jumlah utang semakin bertambah besar.
Selain itu, Ishak menilai, anggaran belanja alutsista itu mahal karena kebutuhan bergantung pada impor. Hal ini akibat dari riset dan produksi senjata dalam negeri rendah. Jadi salah satu solusi untuk mengurangi pembelian alutsista lewat impor adalah dengan memperkuat industri militer dalam negeri.
Ishak berpendapat, kalaupun tetap harus impor, maka cara yang dilakukan adalah dengan menguasai sumber daya alam yang melimpah seperti migas dan batu bara.
Sebagai contoh, kata Ishak, jika produksi batu bara nasional yang mencapai 550 juta ton per tahun dengan biaya produksi USD 35 per ton, sedangkan harga jual adalah USD 100 per ton, maka margin yang diperoleh per tahun sebesar Rp500 triliun, dengan asumsi kurs Rp14.000.
Itu baru perhitungan dari sektor batu bara, apalagi kalau ditambah dari penjualan barang-barang tambang lain yang sangat melimpah di Indonesia. “Namun, akibat mengadopsi sistem kapitalisme, pemerintah malah menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada swasta,” sesal Ishak.
Ishak melihat, sistem kapitalisme yang membuat pemerintah berpandangan bahwa riba adalah sesuatu yang bisa dilakukan dan sudah sesuai. Padahal bentuk kebijakan itu melanggar syariat Islam.
Terakhir, ia memberikan solusi untuk mengurangi utang tersebut adalah dengan cara menerapkan syariah Islam secara paripurna, termasuk dalam mengelola APBN dan sumber daya alam milik negara.[] Ade Sunandar