Oleh: Umar Syarifudin (pengamat politik internasional)
Politik di negara-negara demokratis gaduh dan menghasilkan menciptakan siklus konflik kepentingan dengan sengaja dalam mengejar kepentingan politik mereka. Ini jelas terlihat, masyarakat di berbagai wilayah dunia merasakan pahit getir sirkus demokrasi, yang mana tidak ada posisi yang konsisten kecuali kepentingan dan para politisinya tidak memiliki kedudukan permanen baik persahabatan ataupun koalisi permanen maupun lawan politik yang ajeg.
Demokrasi telah memiliki dua sayap politik: sayap penguasa dan oposisi. Demokrasi mengklaim bahwa peran oposisi adalah untuk mengoreksi kebijakan pemerintah dan memastikan bahwa semua usulan didengar sehingga pemerintah dapat merespon secara baik. Tetapi faktanya, kita merasakan apatisme di berbagai kalangan masyarakat terhadap partai politik pro-demokrasi menjadi wakil dari kepentingan beberapa elit dan bukan rakyat jelata. Inilah realitas perasaan umat terhadap keberadaan partai-partai politik dalam peradaban Kapitalisme.
Era demokrasi – liberal ini, sikap politik mereka berputar di sekitar kepentingan dan kekuasaan mereka. Hari ini politisi terlihat mendukung masalah ini dan besok menolaknya. Anomali politik yang labil. Oleh karena itu tidak aneh untuk melihat para politisi dan partainya bersaing dengan lawan politiknya bila itu tampak sebagai ancaman bagi kepentingan politiknya. Terlihat jelas dalam tarik menarik polemik antara oposisi dan Pemerintah dan pendukungnya, acapkali kita rasakan tidak dalam era demokratis ini berasa pragmatistik dan kapitalistik.
Kaum Muslim di dunia muslim khususnya, telah melakukan banyak penolakan sirkus politik Demokrasi atau apa yang disebut perjuangan untuk membawa Demokratisasi yang ideal, karena kesadaran iudeologis dan kesadaran atas realitas mengantarkan mereka menginginkan bahwa kedaulatan hanya untuk Allah (swt) saja. Di media sosial ada begitu banyak suara kaum muslim yang menolak semua politisi dan parpol yang menipu rakyat dengan mimpi palsu untuk membawa perubahan nyata. Mereka yakin, perubahan nyata hanya terwujud kekuasaan dan penguasa yang berpihak melindungi kepentingan Islam dan Muslim dan keadilan. Dan inilah realitas hakiki yang menakutkan Barat dan Amerika yang mengaku penjaga Demokrasi.
Barat penjaga demokrasi dan paling demokratis? Anda lihat pada Pemilihan Presiden AS dalam seluruh pertunjukan sirkus ini, lelucon tersebut berada di ‘Demokrasi’dengan hasil Donald Trump sebagai pemenang. Seluruh prosesi pemilu yang gaduh ini menghasilkan Presiden sarkastik, dan ini telah menunjukkan kepada dunia garis patahan dan bahaya dari sistem demokrasi. AS menyajikan perwujudan pemilihan yang menghayati model politik bahwa kampanye penghinaan kepada pribadi lawan politik dan serangan antara dua kandidat daripada debat tentang kebijakan dan prinsip nyata. Ini tidak mengherankan karena ini adalah karakteristik umum dari politik demokratis sekuler di seluruh dunia. Dan seperti halnya banyak negara demokrasi di dunia Barat, penggunaan retorika xenofobia dan anti-imigran untuk menarik prasangka-prasangka dasar para pemilih juga merupakan ciri utama kampanye pemilihan Trump. Tidak mengherankan bahwa banyak media dan komentator politik menggambarkan pemilu sebagai refleksi sistem demokrasi Amerika yang rusak.
Mari kita putar kembali rekam jejak cacat politik demokrasi di negara penjaganya. Adalah fakta bahwa pemilu AS merepresentasikan seorang politisi yang menghina setengah dari penduduknya, dan yang menjalankan salah satu kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat yang paling memecah belah, dan yang membual tentang wanita yang menyerang secara seksual, dan yang secara terbuka menyatakan kekagumannya pada Putin. Trump, yang dalam kampanyenya menghina hampir setiap minoritas di negaranya – Hispanik, Muslim, orang cacat, dan imigran – bahkan dapat dianggap sebagai calon pemimpin negara manapun, apalagi menjadi presiden terpilih dari negara adidaya terkemuka di dunia, berbicara banyak tentang kegagalan dan bahaya sistem demokrasi.
Walhasil, muncul banyak pertanyaan tentang kredibilitas sistem politik manapun yang memberi ruang retorika rasis, hate speech, Islamophobia dan memecah belah untuk digunakan sebagai alat pemilu yang sah secara hukum. Di sisi lain, lawan politik Trump, yakni Hillary Clinton – waktu itu mengalami rangkaian tuduhan korupsi dan memiliki reputasi sebagai pembohong dipilih sebagai kandidat terbaik untuk dijalankan bagi demokrat. Ini serangkaian bukti tentang betapa cacatnya sistem ini.
Tulisan ini menjadi lebih ringkas, dan Andapun telah merasakan banyak ketimpangan di era ini. Sementara di dunia muslim yang membentang dari Merauke sampai Maroko terus bergejolak. Fakta semakin menipisnya harapan masyarakat dalam demokrasi sebagai metode yang tepat untuk menyelesaikan masalah duniawi mereka. Di saat yang sama hasrat dan cinta yang kuat untuk hidup dalam naungan Islam telah memberi tekanan besar pada para penguasa pengkhianat yang tunduk pada asing, memaksa sebagian mereka untuk membuat lip service lewat beberapa media sebagai sosok peduli Islam di hadapan masyarakat.
Sekali lagi, dunia sangat membutuhkan sistem politik yang benar-benar peduli terhadap umat manusia – Muslim dan non-Muslim, pria dan wanita, hitam dan putih – anti rasisme. Sebuah sistem politik meningkatkan status perempuan dan memiliki solusi yang teruji oleh waktu yang kredibel terhadap politik, ekonomi, dan masalah-masalah sosial masyarakat mana pun daripada dibangun di atas retorika kosong kosong untuk mengatur rakyat kecil. Bukan sistem politik yang dijalankan oleh elit politik yang kaya lalu demi kepentingan elit politik kaya, atau taipan bisnis yang bernafsu untuk kekuasaan dan prestise. Dunia tidak membutuhkan penyelenggaraan politik yang tidak paham tentang bagaimana memberikan cara hidup yang adil bagi semua dan memecahkan masalah negara. Dunia butuh Islam.[]