Oleh: Fajar Kurniawan | Analis senior PKAD
Yang dikhawatirkan oleh masyarakat di tengah wabah yang menjangkiti negeri ini adalah krisis pangan. Masyarakat khawatir meningkatnya harga pangan secara pasti berdampak pada meingkatnya jumlah orang yang kelaparan. Mereka yang miskin semakin sulit untuk mendapatkan pangan dengan harga terjangkau. Namun demikian, meskipun harga pangan mengalami kenaikan pesat bukan berarti stok pangan global mengalami kelangkaan. Yang terjadi justru sebaliknya, dalam 5 tahun terakhir tren produksi produk-produk pangan global terus meningkat. Produksi global masih jauh lebih tinggi dari total konsumsi, baik untuk makanan maupun non makanan. Ini terlihat dari besarnya surplus stok dari masing-masing komoditi. Jika memang demikian, lalu mengapa di berbagai belahan dunia termasuk di negeri ini banyak yang mengalami kekurangan pangan?
Dalam teori kapitalisme murni, hakikatnya negara tidak bertanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya pangan, sandang dan papan. Negara hanya berupaya agar pendapatan perkapita rakyat secara agregat mengalami peningkatan tanpa melihat apakah masing-masing individu rakyatnya mampu memenuhi kebutuhan dasarnya. Dengan demikian pemenuhan kebutuhan pangan menjadi tanggungjawab rakyatnya sendiri. Pangan tetap dipandang sebagai komoditas yang memliki harga yang harus dibayar oleh siapapun yang ingin mengkonsumsinya.
Memang di negara-negara kapitalisme negara kadangkala melakukan intervensi dengan memberikan subsidi termasuk pangan. Namun demikian berbagai subsidi tersebut tidak dimaksudkan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar seluruh rakyatnya. Di Indonesia misalnya ada program penjualan beras untuk orang miskin (raskin) dengan harga di bawah harga pasar. Tapi hal itu tidak menyelesaikan masalah. Kenyataanya subsidi tersebut disamping temporal, jumlahnya sangat terbatas–apalagi seringkali salah sasaran–sehingga tidak mampu menjangkau seluruh penduduk yang terkategori miskin. Selain itu, bagi sebagian penduduk miskin, harga tersebut masih cukup mahal sehingga mereka tidak dapat menikmatinya secara persisten. Dengan demikian kebijakan tersebut memang tidak didesain untuk menjamin agar seluruh rakyat dapat menikmati pangan secara berkelanjutan. Tak heran jika dalam realitasnya banyak penduduk yang kekurangan pangan sehingga rentan penyakit.
Di sisi lain, pemerintah Indonesia tampaknya juga belum serius untuk membenahi ketergantungan kepada pangan impor. Padahal ketergantungan tersebut sudah sedemikian parah. Komoditas yang sangat tergantung pada impor antara lain: gandum, susu, gula, daging sapi, jagung dan kedelai. Di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara ketergantungan tersebut malah lebih tinggi lagi. Hampir separuh dari kebutuhan pangan di kawasan tersebut dipasok dari luar negeri, seperti gandum (48%), jagung (67%), dan beras (43%). Di Mesir misalnya, 55% gandum yang dikonsumsi merupakan produk luar negeri dan merupakan komoditi impor terbesar kedua setelah minyak mentah. Akibatnya, naiknya harga pangan global langsung berefek pada mahalnya komoditas tersebut di dalam negeri.
Di sisi lain, kebijakan pemerintah secara perlahan tampaknya justru ‘mematikan’ sektor pertanian. Perjanjian kerjasama perdagangan dengan negara lain atas asas perdagangan bebas seperti China-Asean Free Trade Agreement dan Asean – Australia – New Zealand Free Trade Agreement. dan telah membuat harga pangan impor menjadi lebih murah. Bukan saja karena bea masuk produk-produk impor tersebut dihilangkan namun juga biaya produksi komoditas tersebut lebih rendah karena kuatnya kebijakan negara eksportir dalam mendukung sektor pertanian mereka. Sementara di Indonesia subsidi untuk sektor pertanian terus dikurangi. Murahnya harga produk impor dan mahalnya input pertanian membuat instentif untuk bertani semakin rendah. Tak heran konvesi lahan pertanian menjadi lahan perumahan dan industri meningkat tajam.
Membiarkan hal tersebut, bukan saja akan mematikan para petani, namun dalam jangka panjang akan mengakibatkan ketergantungan yang tinggi terhadap produk impor. Padahal sangat jelas, ketergantungan impor tersebut sangat beresiko khususnya ketika terjadi gejolak eksternal. Penurunan produksi akibat bencana alam, melemahnya nilai tukar mata akan membuat harga meningkat. Namun lebih dari itu, jika negara eksportir memberlakukan boikot ekspor maka hal itu tentu sangat membahayakan negara importir.
Kenaikan harga pangan saat ini tidak lepas dari sistem kapitalisme yang telah menjadikan komoditas pangan sebagai barang spekulasi sehingga harga tidak lagi mencerminkan permintaan dan penawaran di sektor riil. Di bursa tersebut barang dapat diperjualbelikan secara spekulatif. Komoditas diperjualbelikan tanpa adanya penyerahan barang oleh pembeli atau harga oleh penjual sesaat setelah proses transaksi. Praktek-prektek demikian jelas sangat bertentangan dengan Islam dan oleh karenanya keberadaan bursa sebagaimana halnya sistem kapitalisme itu sendiri, merupakan sebuah kemungkaran.
Selain itu, negara gagal memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan pokok rakyatnya termasuk pangan. Akibatnya banyak dari mereka yang kekurangan gizi hingga mati kelaparan. Hal ini diperparah dengan kebijakan pertanian di negara-negara muslim yang mengabaikan pengembangan sektor pertanian sehingga membuat negeri-negeri tersebut sangat tergantung pada impor.
Ini berbeda dengan sistem Islam yang telah menetapkan bahwa negara wajib menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyatnya per individu baik pangan, sandang dan papan. Di samping itu, negara juga didorong untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri melalui peningkatan produksi secara berkesinambungan. Lebih dari itu, politik pertanian negara bukan hanya bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan dalam rangka memenuhi kebutuhan penduduk yang terus meningkat dan mengantisipasi bencana, namun juga untuk menjaga kemungkinan boikot negara-negara lain serta potensi kelaparan dari negeri-negari muslim lainnya.[]