Ancam Cabut Izin PTM Sekolah yang Terlibat Tawuran Pelajar, Aktivis Muslimah: Tidak Menjadi Solusi

Mediaumat.news – Acaman Dinas Pendidikan Wilayah II Jawa Barat yang akan mencabut izin Pembelajaran Tatap Muka (PTM) kepada sekolah yang siswanya terlibat tawuran, kekerasan dan kegiatan meresahkan, dinilai bukan menjadi solusi.

“Jelas ya rencana pencabutan izin PTM itu tidak menjadi solusi bagi problem tawuran pelajar atau problem kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak generasi kita,” ujar Aktivis Muslimah Iffah Ainur Rochmah kepada Mediaumat.news, Sabtu (9/10/2021).

Iffah melihat, memang tidak dipungkiri kasus tawuran yang terjadi baru-baru ini hingga menewaskan seorang pelajar di Bogor tersebut dipicu oleh eforia PTM. Para pelajar itu merasa bebas dan lepas dari kungkungan setelah cukup lama, hampir dua tahun melaksanakan pembelajaran daring.

Akar Masalah

Tapi kalau ditelaah, Iffah mengatakan, ada dua hal kenapa para pelajar tersebut melakukan tindakan kekerasan. Pertama, para pelajar tersebut tidak memiliki pegangan pikiran dan perilaku, sehingga memilih melakukan kekerasan untuk menyelesaikan masalah.

Kedua, selama diberlakukan pembelajaran daring, para pelajar tersebut lebih banyak memiliki akses terhadap internet, sehingga banyak yang kecanduan game online. Padahal, sebut Iffah, apa yang ada pada game online tersebut serta tayangan pada konten-konten media di internet itu banyak sekali terkait dengan kekerasan.

“Di saat yang sama anak-anak kita tidak punya cukup model, cukup bekal untuk melindungi diri dari meniru, mengimitasi tindak kekerasan seperti itu,” tutur Iffah.

Menurut Iffah, yang bisa menjadi solusi bukanlah dihentikan PTM-nya. Sebab kejadian tawuran itu sendiri bukan di jam sekolah. Jadi meskipun tidak ada PTM mereka tetap bisa melakukan kekerasan serupa itu kalau akar masalahnya tidak diselesaikan.

Solusi

Solusi untuk menyelesaikan akar masalah kekerasan pelajar itu, menurut Iffah, setidaknya ada dua hal.

Pertama, negara dan stakeholder pendidikan harus memiliki program yang sinergis antara sekolah, keluarga, masyarakat dan media. Kerja sama itu, kata Iffah, bertujuan untuk menutup semua pintu terhadap konten internet yang negatif, seperti konten kekerasan, konten game online yang mengakibatkan kecanduan, dan konten sejenisnya.

Kedua, ada evaluasi mendasar terhadap kurikulum pendidikan yang materi dasarnya adalah penanaman ketakwaan pada Allah SWT, dengan mengajarkan bahwa semua yang dikerjakan oleh manusia terikat pada ketentuan Allah SWT.

Sebab, menurut Iffah, untuk membekali para pelajar agar bisa melindungi diri dari konten negatif internet tidak bisa dibebankan ke pundak keluarga saja, tapi juga pada kurikulum yang ditetapkan negara.

Iffah menilai, menanamkan ketakwaan pada para pelajar itulah yang sangat penting. Baru kemudian disusul menanamkan terkait apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan. Sehingga apa pun masalah yang dihadapi para pelajar yang masih terbatas wawasannya, pengalamannya dan juga masih labil kondisi emosinya, tidak akan mengantarkan kepada tindak kekerasan.

“Jadi tawuran itu tidak akan menjadi salah satu pilihan mereka untuk menyelesaikan masalah. Mereka tahu menyelesaikan masalah sesuai tuntunan Islam, kalau di kurikulum pendidikan dan juga pendidikan di rumah mereka dituntun oleh keluarga dan sekolah,” ucap Iffah.

Iffah menyatakan, yang lebih penting lagi adalah peran negara untuk mengontrol konten-konten negatif tentang kekerasan agar tidak muncul di media internet.

Iffah memandang, hingga hari ini banyak sekali konten negatif berupa kekerasan atau juga game online tidak bisa difilter oleh negara karena faktor globalisasi. Hal itu menunjukan kelemahan negara dalam melindungi rakyat dan generasi penerus dari kerusakan.

“Karena itu mestinya negara punya peran lebih besar, dan hendaknya negara ini dituntun oleh Islam dalam menata media, menata kurikulum pendidikan, dan juga membekalkan kepada keluarga untuk menyiapkan anak-anak mereka melalui pendidikan keluarga,” pungkas Iffah.[] Agung Sumartono

Share artikel ini: