Analisis Istilah “Fihi Nazhar” Imam Al-Bukhari (Studi Kasus Rawi Habib bin Salim dalam Hadits Bisyarah Nabawiyah tentang Khilafah)

 Analisis Istilah “Fihi Nazhar” Imam Al-Bukhari (Studi Kasus Rawi Habib bin Salim dalam Hadits Bisyarah Nabawiyah tentang Khilafah)

Oleh: Yuana Ryan Tresna

Lagi, ada yang bertanya tentang perkataan Imam al-Bukhariy: “fihi nazhar”. Sebenarnya sudah sering menjawab soalan ini, tetapi penanya ini sedikit berbeda, karena menghadirkan berbagai bukti bahwa rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhariy sudah pasti dhaif. Untuk itulah catatan singkat ini dibuat.

Memang benar, pada keumumannya, “fihi nazhar” itu berkaitan dengan penilaian jarh dari Imam al-Bukhariy. Pada umumnya jarh ringan. Tapi tak sesederhana itu. Tidak bisa memutlakkan kedhaifan hadits yang terdapat rawi yang dinilai “fihi nazhar”.

Ungkapan “fihi nazhar” tergantung qarinah-qarinahnya. Qarinah ini perlu diteliti dan dikaji. Sayangnya sebagian pihak tergesa-gesa memutlakkan kedhaifan hadits yang di dalamnya ada rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhariy tanpa memperhatikan qarinah-qarinahnya. Termasuk penilaian para ulama jarh wa ta’dil lainnya ketika menilai rawi yang dikomentari “fihi nazhar”.

“Fihi nazhar” seperti ungkapan hipotesis dari seorang peneliti, bahwa rawi ini perlu diperhatikan atau diteliti lebih lanjut. Tetapi yang jelas, Imam al-Bukhariy tidak sedang menunjukkan ta’dil dengan ungkapan tsb., melainkan jarh ringan yang masih membuka ruang interpretasi para nuqad. Termasuk potensi jarh syadid bahkan ta’dil, ketika pada tempat lain Imam al-Bukhariy menerimanya.

Ada yang mengajukan pendapat bahwa ungkapan “fihi nazhar” bermakna pertengahan. Dia menunjukkan ungkapan al-Hafizh Ibnu Hajar saat membahas Abu Balj di kitab Badzlu al-Ma’un fi Fadhli al-Tha’un hlm. 117:

وقال البخاري فيه نظر وهذه عبارته فيمن يكون وسطا

Menurutnya, penilaian imam al-Bukhariy “fihi nazhar” untuk Abu Balj bukan jarh yang sifatnya menjatuhkan. Namun bermakna bahwa Imam al-Bukhariy memiliki sedikit keraguan terhadapnya. Bisa jadi Imam al-Bukhariy menilai Abu Balj shaduq, namun ada sedikit keraguan terhadapnya.

Qarinahnya, Imam al-Bukhariy berhujjah dengan keterangan Abu Balj saat membahas rawi lain. Dalam biografi Muhammad bin Hatib al-Qurasyi di Tarikh al-Kabir (1/18), Imam al-Bukhariy berhujjah dengan ini:

…حَدَّثَنَا أَبُو بلج قَالَ لنا مُحَمَّد بْن حاطب ولدت فِي الهجرة الأولى بالحبشة.

Hanya saja, saya sedikit keberatan ketika dikatakan bahwa asal dari istilah “fihi nazhar” itu adalah pertengahan jarh dan ta’dil. Dengan alasan: (1) Itu sangat kasuistik tergantung rawi yang ditelitinya; (2) makna pertengahan adalah interpretasi al-Hafizh Ibnu Hajar pada kasus tertentu. Adapun interpretasi ulama lainnya berbeda; (3) adanya penjelasan langsung dari Imam al-Bukhariy tentang “fihi nazhar”.

Berikut ini adalah penjelasan Imam al-Bukhariy terhadap istilah “fihi nazhar”:

1. Dalam kitab Tahdzib al-Kamal (hlm. 544), al-Mizzi menyebutkan:

قال الحافظ أبو محمد عبد الله ابن أحمد بن سعيد بن يربوع الإشبيلي: قال البخاري في التاريخ : كل من لم أبين فيه جرحة فهو على الاحتمال، وإذا قلت فيه نظر فلا يحتمل.

Secara jelas Imam al-Bukhariy menyebutkan sendiri dengan indikasi jarh (la yuhtamal).

2. Imam al-Bukhariy menyebutkan dalam biografi Suwaid bin Abdul Aziz bin Numair al-Sulamiy Abi Muhammad al-Dimasqiy (al-Dhu’afa al-Shaghir, hlm. 57; lihat Tahdzib al-Tahdzib,  4/242):

فيه نظر لا يحتمل

Imam al-Bukhariy menyebutkan sendiri dengan indikasi jarh (la yuhtamal) sebagaimana yang disebutkan sebelumnya.

3. Al-Khathib al-Baghdadiy (Tarikh Baghdad, 2/25; lihat Taghliq al-Ta’liq, 2/10; dan al-Hady, 481) dengan sanad kepada Abu Ja’far Muhammad bin Abi Hatim, bahwasannya dia berkata: Muhammad bin Ismail (al-Bukhariy) ditanya tentang informasi suatu hadits, maka al-Bukhariy berkata:

يا أبا فلان! تراني أدلس وقد تركت عشرة آلاف حديث لرجل فيه نظر، وتركت مثلها أو أكثر منها لغيره لي فيه نظر.

Secara jelas, hal ini menunjukkan bahwa beliau meninggalkan hadits yang di dalamnya ada rawi yg dinilai “fihi nazhar”.

Dengan demikian, dugaan awal atau hipotesis dari ungkapan “fihi nazhar” adalah cela ringan. “Fihi nazhar” ini masih membuka ruang penelitian. Imam al-Bukhariy sendiri adakalanya menolak dan adakalanya menerima rawi yang dinilai “fihi nazhar”. Demikian juga dengan penilaian para ulama hadits lainnya, seperti Yahya bin Ma’in, Abu Hatim, Ibnu Adiy, dll., berbeda-beda tergantung rawi yang ditelitinya.

Ringkasnya, “fihi nazhar” memberikan peluang kesimpulan mulai dari kadzdzab hingga tsiqah. Sebuah rentang peluang yang sangat lebar.

Istilah yang tercakup dalam bahasan فيه نظر  diantaranya adalah:

في حديثه نظر، في إسناده نظر، منكر الحديث فيه نظر، فيه بعض نظر، في صحته نظر، إسناده فيه نظر، في إسناده نظر فيما يرويه، في يعض حديثه نظر، في حفظه نظر، الخ…

Para muhaddits dan para nuqad telah meneliti persoalan ini. Mereka tidak satu suara dalam menilai rawi yang disebutkan “fihi nazhar” atau istilah yang semisalnya oleh Imam al-Bukhariy.

Paling tidak ada 80 rawi yang dinilai “fihi nazhar” oleh Imam al-Bukhariy. Ini baru yang “fihi nazhar”. Belum lagi yang dinilai “fi isnadihi nazhar, fi haditsihi nazhar, fihi ba’dhu nazhar, dll”. Untuk contoh, dalam hadits bisyarah nabawiyah “khilafah ‘ala minhaj al-nubuwah”, ada rawi bernama Habib bin Salim, Maula Nu’man bin Basyir. Dalam al-Tarikh al-Kabir (al-Bukhariy, 2/2606), al-Dhu’afa’ al-Kabir (al-Uqaili, 2/66) dan al-Kamil fi Dhu’afa al-Rijal (Ibnu Adiy, 2/405), Imam al-Bukhariy menilainya “fihi nazhar”.

Imam Ibnu Adiy menilai Habib bin Salim munkar dan idhthirab dalam sanad, tetapi Imam Ibu Hatim, Abu Dawud, dan Ibnu Hibban menilainya tsiqah. Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani menilai “la ba’sa bihi”. (Lihat al-Jarh wa Ta’dil, 3/102; al-Tsiqat, 4/138; al-Kamil, 2/405; al-Taqrib, 1/151). Imam Muslim menggunakan dalam hadits cabang sebagai mutaba’ah. Imam Ahmad dan al-Darimi meriwayatkannya. Demikian juga kalau kita ambil contoh rawi yang lainnya.

Informasi tambahan yang cukup berharga ketika saya berdiskusi di media sosial dengan seorang penelaah adalah bahwa meski Habib bin Salim dinilai “fihi nazhar”, namun Imam al-Bukhariy menilai shahih riwayat Habib bin Salim di ‘Ilal al-Tirmidzi no. 152,

حَدَّثَنا قتيبة ، حَدَّثَنا أبو عوانة عن إبراهيم بن محمد بن المنتشر ، عَن أَبِيه عن حبيب بن سالم عن النعمان بن بشير أن النبي صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في العيدين والجمعة ب {سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى} و {هَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ الْغَاشِيَةِ} وربما اجتمعا في يوم فيقرأ بهما

سَألْتُ مُحَمدًا عن هذا الحديث ، فقال : هو حديث صحيح وكان ابن عيينة يروي هذا الحديث عن إبراهيم بن محمد بن المنتشر فيضطرب في روايته قال مرة حبيب بن سالم ، عَن أَبِيه عن النعمان بن بشير وهو وهم والصحيح حبيب بن سالم عن النعمان بن بشير

Indikasi lainnya, meski Habib bin Salim dinilai “fihi nazhar”, tapi imam al-Bukhariy berhujjah dengan perkataan Habib bin Salim dalam biografi Yazid bin Nu’man bin Basyir (Tarikh al-Kabir, 8/365), al-Bukhari berhujjah dengan perkataan Habib bin Salim:

قَالَ حبيب بْن سالم يزيد بن أصحاب عُمَر بْن عَبْد العزيز

Demikian juga kalau memperhatikan penilaian para imam nuqad mutaqaddimin, semisal Imam Yahya bin Ma’in, Abu Hatim al-Razi dan Ibnu Adiy, ketiganya selalu berbeda dalam menilai rawi yang disebutkan “fihi nazhar”. Mulai dari kadzdzab, munkar, syaikh, shalih, la ba’sa bihi, hingga tsiqah. Jadi sekali lagi, jangan tergesa-gesa.

Pembahasan ini juga dibahas dalam kitab Muthalahat al-Jarh wa al-Ta’dil wa Tathawwuruha al-Tarikhiy fi al-Turats al-Mathbu’ li al-Imam al-Bukhariy ma’a Dirasah Musthalahiyyah li Qaul al-Bukhariy (Fihi Nazhar), hlm. 621-644.

Catatan lainnya, bahwa manhaj yang dipegang oleh para ahli hadits dan fuqaha adalah bahwa penilaian dhaif dan shahih suatu hadits tidak selalu disepakati semua ahli hadits dan bersifat mutlak. Bagi fuqaha, penilaian shahih menurut sebagian ahli hadits sudah cukup dapat dijadikan sebagai hujjah.

Bagi para pengkaji, ini (jarh dan ta’dil) salah satu medan penelitian yang sangat penting. Kita bisa meneliti, membandingkan dan mengambil suatu kesimpulan. Saya pernah contohkan analisis model ini (tarjih antara jarh dan ta’dil) dalam kasus hadits puasa Syawal. Berdasarkan tingkat akurasi dan kedalaman kajiannya, saya mengedepankan yang menta’dil dari pada yang mentajrih.

Dalam menilai rawi Habib bin Salim misalnya, para ulama tidak satu suara. Tetapi sebagian besar menerimanya. Bahkan para ulama hadits telah menerima hadits yang diriwayatkan oleh Habib bin Salim, termasuk hadits bisyarah nabawiyah sebagaimana disebutkan di atas. []

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *