Oleh: Umar Syarifudin (pengamat politik Internasional)
Tensi krisis pengungsi Sudan belum reda, jutaan orang di Sudan Selatan menderita “krisis” atau “darurat” situasi pangan. Referendum pemisahan diri di Sudan selatan pada 9 Januari 2011 bersifat monumental dan memiliki konsekuensi serius.
Pasca referendum, ada banyak problem yang perlu ditangani dan belum terselesaikan seperti krisis pangan, pembagian pendapatan minyak, atau apa yang terjadi dengan hutang Sudan, masa depan Abyei dan lainnya. Di Sudan Selatan, di luar ibu kota Juba tidak menunjukkan perkembangan, jika warga percaya bahwa kemerdekaan Sudan Selatan banyak manfaatnya, sebaliknya masyarakat sangat kecewa. 80% layanan di Sudan Selatan (kesehatan, pendidikan, air dan sanitasi) disediakan oleh organisasi nonpemerintah. Sebuah negara yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya bukanlah negara yang layak. Sebuah negara yang bergantung pada bantuan asing dan organisasi untuk berfungsi bukanlah negara yang berdaulat. Sebuah negara yang memiliki minyak di wilayah yurisdiksinya tapi yang bergantung secara eksklusif pada jaringan pipa utara, kilang dan pelabuhan hampir tidak dapat dipercaya.
Sudan Selatan hampir tidak homogen. Sebagian besar warga sipil yang telah meninggal dalam dua dekade terakhir telah melakukannya sebagai akibat pertempuran antara suku-suku selatan yang berperang. Bukan jalan keluar yang tepat bagi Sudan untuk dipisah menjadi 2 negara, dan kita tahu dari contoh India, Palestina, Siprus dan Irlandia, solusi 2 negara hanya mendorong perang dan ketidakstabilan di masa depan di jalan.
Referendum yang telah dilakukan di Sudan beberapa tahun lalu yang bertujuan untuk memecah wilayah negara menjadi bagian dari sebuah proyek kolonial yang dimulai pada abad ke-19. Perang saudara dan kekerasan telah melambangkan perjuangan di Negara itu.
Pasca runtuhnya al khilafah tahun 1924, negeri Islam terbagi menjadi lebih dari lima puluh negara bagian telah menyebabkan dunia Muslim menjadi lemah, tidak efektif dan tidak berdaya. Syariah Islam telah jelas mengenai kewajiban persatuan politik, sedangkan keputusan memecah Sudan menjadi dua negara membuat Sudan semakin ringan bobotnya dalam konteks geopolitik di dunia, apalagi semakin lemah dengan bergantung pada barat.
Secara historis, Sudan pernah menjadi bagian dari Mesir, dan jika tidak dipecah, Mesir adalah negara terbesar di Afrika, dan salah satu negara terbesar di dunia, dengan lembah air Sungai Nil yang luas, cadangan minyak dan mineral yang besar, tanah subur dan ternak liar.
Masalah asli di Sudan kolonialisme atas kekayaannya. Inggris, Amerika dan Prancis lebih dari satu abad berebut untuk menguasai Sudan. Sebelum merdeka dari pemerintahan Inggris pada tahun 1965, Sudan ditangkap oleh pasukan Anglo-Mesir yang berkuasa pada tahun 1899 setelah kekalahan kekuatan Mahdi, dengan Mesir sendiri menjadi bagian dari Kerajaan Inggris saat itu. Darfur ditangkap oleh Inggris pada tahun 1916, namun setelah mendapat dukungan finansial dari Khartoum untuk wilayah luar seperti Darfur yang menyimpang dari ketidaksetaraan kekayaan menyebabkan perbedaan suku yang telah dieksploitasi Barat untuk memisahkan wilayah tersebut sejak saat itu.
Barat telah berhasil menginternasionalisasi isu Sudan yang sekarang berarti solusi-solusi untuk Sudan akan dilakukan oleh kekuatan adidaya dunia yang terus bersaing. Hal ini serupa dengan masalah Timor Leste dimana Amerika Serikat sendiri menekan Indonesia untuk melepaskan kontrol atas wilayah tersebut. Perselisihan domestik oleh berbagai faksi secara historis merupakan koridor bagi campur tangan Barat.
Keadaan Sudan saat ini menunjukkan propaganda Barat melawan kembalinya sistem Islam. Tidak puas dengan proyek di Palestina, Irak dan Afghanistan, Suriah, Sudan, Pakistan, mereka terus memperlakukan dunia Muslim sebagai papan catur mereka. Pihak barat terus mempromosikan perpecahan dan fragmentasi di dunia Muslim. Apakah di Sudan, di Palestina, di Irak atau Afghanistan jelas bahwa banyak orang menginginkan fragmentasi dan disintegrasi lebih lanjut.
Solusi yang riil yang dibutuhkan Sudan bukanlah disintegrasi. Pemerintah Sudan tidak mampu mengatasi derita seluruh rakyat Sudan yang merasakan kekejaman mengerikan yang telah terjadi di dalam negeri tersebut akibat konflik yang melibatkan penduduk Muslim dan Kristen. Solusi untuk Sudan bukanlah sebuah negara baru di Juba, tapi sebuah perubahan dalam pemerintahan dan kepemimpinan untuk seluruh negeri. Kepemimpinan yang tulus yang bisa menerapkan sistem yang akan mengendalikan urusan orang secara adil terlepas dari kepercayaan, suku atau warna mereka. Sejarah Afrika, Timur Tengah dan Balkan sebagian besar menunjukkan kedamaian ketika peraturan Islam diterapkan dengan benar, muslim dan non-Muslim diperlakukan secara manusiawi sebagai warga negara dan hak mereka selalu dilindungi.
Sudan makmur di bawah pemerintahan Islam. Islam diperkenalkan ke Afrika Utara ratusan tahun yang lalu. Islam memasuki sebagian besar wilayah Darfur serta bagian lain dari Sudan pada abad ke-14. Sehingga pemisahan bukanlah solusi bagi masyarakat Sudan tapi upaya lain oleh kekuatan asing dalam memecah belah umat lebih jauh.[]