Mediaumat.news – Menyikapi kezaliman yang dialami oleh Gus Nur akibat penerapan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), Analis Senior PKAD Fajar Kurniawan menilai pemberlakuan UU ITE sejauh ini laksana buldozer yang siap menyingkirkan atau mengkriminalisasi siapa saja dan kelompok mana saja yang berani mengkritik penguasa.
“Gus Nur adalah simbol dari perlawanan terhadap kezaliman di negeri ini, sekaligus korban dari pemberlakuan UU ITE yang laksana buldozer siap menyingkirkan atau mengkriminalisasi siapa saja dan kelompok mana saja yang berani mengkritik penguasa,” ungkapnya dalam acara Live PKAD FGD ke-21: Kezaliman atas Gus Nur di Tengah Wacana Revisi UU ITE, Sabtu (27/02/2021) di kanal Youtube Pusat Kajian dan Analisis Data.
Menurutnya, UU ITE ini sesungguhnya UU yang dirancang untuk mengatur transaksi keuangan yang mengarah pada elektronik dan digitalisasi dan UU ini telah mengalami revisi atau perubahan menjadi undang-undang no 19 tahun 2016. “Namun predikat UU ITE sebagai UU Buldozer tak serta-merta ternyata bisa dihilangkan, bahkan korbannya senantiasa bertambah dari waktu ke waktu,” ujarnya.
Fajar mengungkap data yang dihimpun berbagai LSM menunjukkan semakin banyak orang yang memakai UU ITE untuk melaporkan pihak lain yang berseberangan dengannya. “Sebagai gambaran di tahun 2019, menurut data Polri, yang kemudian ini dikutip oleh South East Asian Freedom of Ekspression Network (SAFENet), setidaknya ada 3100 pelaporan UU ITE,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia mengatakan data Koalisi Masyarakat Sipil yang diumumkan Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) menunjukkan sepanjang tahun 2016 hingga tahun 2020 tingkat keputusan atau conviction rate kasus pasal karet mencapai 96,8 % atau 744 perkara. Sementara tingkat pemenjaraan mencapai 88% atau 676 perkara. “Tentu ini adalah sebuah rasio yang sangat tinggi,” ujarnya.
Menurutnya, penelitian ICJR ini menunjukkan dua kelompok terbesar pelapor UU ITE ini adalah pejabat publik dan masyarakat sipil, sebanyak 38 % adalah kepala daerah, menteri, aparat keamanan, dan pejabat publik lainnya. “Dan dari kasus-kasus yang muncul di media, kita mengetahui sebagian besar berupa kasus pasal penghinaan pejabat negara,” tandasnya.
Tujuh Kezaliman
Ia mencatat, setidaknya ada tujuh kezaliman yang diterima oleh Gus Nur sepanjang proses perkaranya tersebut. “Setidaknya ada tujuh kezaliman yang dicatat oleh tim penasehat hukum Gus Nur selama ini,” ungkapnya.
Pertama, menurut penasehatnya, Gus Nur langsung ditangkap, dan dipenjara tanpa ada proses pemanggilan dan pemeriksaan pendahuluan. “Gus Nur langsung ditangkap, dijadikan tersangka kemudian dipenjara,” ujarnya.
Kedua, kezaliman juga dialami Gus Nur sejak ditangkap 24 Oktober 2020. “Gus Nur langsung dibawa ke Jakarta melalui perjalanan darat yang kurang lebih 11 jam. Setelah itu masih dilanjutkan lagi dengan proses BAP hingga jam 11 malam dan ujungnya kemudian langsung dijadikan tersangka dan dipenjara,” ungkapnya.
Ketiga, bahwa sejak ditahan 24 oktober 2020 hingga saat ini keluarga Gus Nur tidak dapat menjenguknya. “Gus Nur diisolasi dan bahkan kuasa hukumnya pun mengalami kesulitan untuk sekadar berkonsultasi dalam proses penanganan kasusnya,” ujarnya.
Keempat, penangguhan penahanan Gus Nur dari kepolisian, kejaksaan, hingga pengadilan, tidak diacuhkan. “Padahal selama ini Gus Nur tidak pernah merugikan negara,” tandasnya.
Kelima, sejak sidang awal hingga sidang keenam, Gus Nur tak pernah sekalipun dihadirkan di persidangan. “Padahal perintah KUHP jelas bahwa terdakwa harus dihadirkan atau dia menghadiri sebuah proses persidangan,” ujarnya.
Keenam, saksi yang disebutkan di dalam dakwaan sebagai korban tidak pernah dihadirkan di persidangan.
Ketujuh, tanpa didampingi oleh para penasehat hukumnya, proses persidangan ternyata tetap dilanjutkan dengan memeriksa keterangan dari para ahli.
“Dengan demikian, hak terdakwa untuk didampingi penasehat hukum sejauh ini diabaikan oleh aparat negara, oleh institusi negara. Hal itu tentu menggambarkan betapa paradoksnya penegakan hukum di negeri kita yang kita cintai ini,” pungkasnya. [] Achmad Mu’it