Mediaumat.id – Perubahan iklim yang terjadi sangat cepat di abad 20-21 ini, direspon oleh Analis Kebijakan Kehutanan Agung Wibowo Ph.D.
“Banyak yang menyatakan bahwa perubahan iklim ini dipicu oleh industrialisasi yang terjadi di negara-negara maju,” ungkapnya dalam acara Kabar Petang: Kapitalisme Biang Krisis Iklim Global, Rabu (27/7/2022) di kanal YouTube Khilafah News.
Agung mengatakan, setelah Barat mencapai kemajuannya barulah dampak dari perbuatan yang mereka lakukan itu dirasakan oleh manusia di seluruh dunia.
Ia menilai, yang paling terkena dampak dari perubahan iklim adalah negara-negara berkembang yang umumnya miskin yang memiliki keterbatasan untuk melakukan mitigasi (tindakan mengurangi dampak bencana) perubahan iklim. “Jadi masyarakat miskin yang menjadi korbannya,” tegasnya.
Ia mencontohkan di Indonesia. Ketika terjadi dampak perubahan iklim, ikan-ikan mulai berkurang karena tidak tahan terhadap perubahan suhu air laut. “Ketika para suami tidak melaut (karena ikan berkurang) tidak menghasilkan pendapatan keluarga, maka para wanita yang berupaya untuk menutupi kebutuhan keluarga dengan bekerja di berbagai sektor, pertanian, perkebunan atau industri kecil,” terangnya.
Sehingga, menurut Agung, perubahan iklim akan mengubah struktur keluarga dan kehidupan keluarga. Laki-laki dianggap tidak berguna karena tidak bisa memberi nafkah. Akhirnya perceraian tinggi, dan ini berpengaruh pada perawatan anak dan seterusnya.
“Beberapa penelitian menyebut bahwa wanita dan anak-anak adalah kelompok yang paling rentan terpengaruh oleh perubahan iklim, terutama di negara miskin yang rentan terhadap perubahan iklim seperti di pantai,” imbuhnya.
Alat
Agung menilai, perubahan iklim ini dijadikan alat bagi negara-negara maju untuk menjaga agar barang-barang mereka bisa terus diproduksi. Ia mencontohkan, mobil atau motor yang berbahan bakar minyak telah banyak diproduksi di negara-negara maju.
“Mereka melarang negara-negara berkembang memproduksi mobil dan motor berbasis bahan bakar minyak dengan alasan mengurangi emisi karbondioksida,” ungkapnya sembari mengatakan alasan sebenarnya bahwa kalau negara berkembang juga memproduksi barang yang sama akan menghilangkan pasar dari barang-barang yang dibuat oleh negara maju.
Demikian pun dengan mobil listrik, ungkap Agung, mereka membatasi bahwa transportasi pribadi itu jangan lagi menggunakan mobil-mobil yang berbahan bakar minyak, tapi harus menggunakan mobil listrik.
“Siapa yang memiliki teknologi mobil listrik ini? Tentu negara-negara maju lebih siap untuk itu. Artinya kalau mobil dengan bahan bakar minyak ini dihentikan kemudian ada kesepakatan seluruh dunia untuk menggunaan mobil listrik, lagi-lagi negara berkembang akan menjadi pasar mobil listrik bagi negara-negara maju,” tutur Agung memprediksi.
Ia lalu menyimpulkan, perubahan iklim ini menjadi semacam alat agar produk-produk yang mereka hasilkan itu tetap mendominsasi pasar dunia.
Agung juga mengatakan, perubahan iklim ini belum direspons secara sungguh-sungguh oleh negara-negara maju, sehingga tidak bisa berharap perubahan iklim akan bisa dihentikan atau setidaknya direm.
“Kita masih ragu karena komitmen dari negara-negara maju tidak jelas, mereka lebih pada upaya menjual teknologi mereka yang mereka anggap bisa mengatasai perubahan iklim,” sesalnya.
Konsumtif
Menurut Agung, problem terbesar dari perubahan iklim adalah mindset. “Artinya cara berpikir konsumtif manusia inilah yang menyebabkan perubahan iklim,” jelasnya.
Oleh karena itu, lanjutnya, sifat-sifat manusia yang tamak terhadap harta, produksi-produksi itu harus diubah. “Kita hidup di dunia ini bukan hanya manusia saja isinya, tetapi juga ada tumbuh-tumbuhan, hewan dan lain-lain yang harus diberikan ruang agar berkembang,” ungkap Agung mengingatkan.
“Apabila manusia hanya mengutamakan kepuasan diri, kelezatan diri, dan mengabaikan makhluk Tuhan lainnya, akan terjadi serangan balik dari alam untuk mengajarkan manusia bahwa cara hidup seperti ini tidak baik untuk kelangsungan hidup bumi tempat semua makhluk hidup itu ada,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun