Mediaumat.id- Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies) mengingatkan, terkait gelaran IPO PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus membuka mata. “Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK wajib buka mata,” tegas Anthony Budiawan kepada Mediaumat.id, Jumat (17/2/2023).
Pasalnya, ujar Anthony, IPO (initial public offering) atau penawaran umum saham perdana dimaksud, dinilai akan merugikan keuangan PGE, anak usaha dari PT Pertamina.
Tak berhenti di situ, dari kerugian yang bakal di alami PT Pertamina, perusahaan energi nasional yang 100 persen kepemilikan sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia, kata Anthony, berarti juga merugikan keuangan negara.
Sebagai informasi, proses IPO telah dimulai pada 16 Februari 2023, dan tanggal pencatatan saham, atau listing, diperkirakan tanggal 24 Februari 2023.
Sebagaimana pula dikutip dari laman e-ipo, Rabu (1/2), PGE bakal melepas saham sebanyak-banyaknya 10.350.000.000 atau 10,35 miliar saham biasa atas nama, dengan nilai nominal Rp500 per saham atau mewakili maksimal 25 persen dari dari modal ditempatkan dan disetor Perseroan setelah IPO.
Sementara, harga penawaran berkisar antara Rp820-Rp945 per saham. Dengan demikian, PGE bakal meraup dana sekitar Rp 9,78 triliun (USD600 juta lebih, dengan kurs Rp15.000 per dolar) yang sekitar 85 persennya rencananya akan digunakan untuk pengembangan usaha perseroan hingga 2025.
Sebelumnya, Anthony menyampaikan bahwa untuk keperluan ekspansi usaha, PGE bisa mendapatkan dana dari pinjaman (utang) selain dari penyertaan modal, salah satunya IPO.
Untuk diketahui, kedua jenis pendanaan ini memang ada biayanya. “Biaya untuk utang dinamakan suku bunga, biaya untuk ‘jual saham’, IPO, dinamakan tingkat keuntungan untuk pemegang saham, atau return on equity (ROE), laba bersih dibagi modal ekuitas,” terangnya.
Namun begitu, kata Anthony, biaya utang sebenarnya lebih murah dari biaya IPO. Artinya, sumber dana IPO biayanya lebih mahal dari utang. “Karena itu, PGE akan dirugikan kalau dipaksa IPO. Artinya, Pertamina dan negara juga dirugikan kalau PGE IPO,” urainya.
Pun, total utang PGE masih sangat rendah. “Rasio utang terhadap modal (ekuitas), atau Debt-Equity-Ratio (DER) hanya 0,57 kali, per 30 September 2022,” beber Anthony.
“DER sekitar satu atau lebih rendah mencerminkan keuangan perusahaan sangat sehat. DER antara satu dan dua, masih cukup sehat,” imbuhnya, seraya menyebut keuangan PGE sangat sehat.
Artinya pula, PGE mempunyai kapasitas sangat besar untuk menambah utang. Bahkan, kata Anthony, masih bisa menambah menjadi dua atau tiga kali lipat dari nilai utang bersih yang hanya sekitar 700 juta dolar AS per 30 Juni 2022.
“Kalau utang PGE bertambah 700 juta dolar AS, rasio utang (DER) PGE hanya naik menjadi sekitar 1,1 saja. Artinya, keuangan PGE masih dalam kondisi sangat sehat,” tuturnya lagi.
Pun, jumlah 700 dolar AS ini lebih besar dari rencana IPO yang hanya dapat dana sekitar 600 juta dolar AS, tetapi di saat yang sama kehilangan 25 persen kepemilikan saham. “Jadi, untuk apa IPO?” tandasnya.
Privatisasi?
Di kesempatan yang sama, skema penawaran saham perdana atau IPO dinilai banyak pihak termasuk para pekerja Pertamina sendiri yang tergabung di Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu (FSPPB), organisasi induk yang beranggotakan 25 Serikat Pekerja di lingkungan PT Pertamina (Persero), sebagai rencana awal upaya privatisasi PT Pertamina Geothermal Energy (PGE).
Dengan meneriakkan yel-yel dalam aksi unjuk rasa di sekitar Patung Kuda Arjuna Wiwaha, Jakarta Pusat, Kamis (16/2/2023), mereka menolak rencana korporasi tersebut. Bahkan Presiden FSPPB, Arie Gumilar, menuntut penghentian semua upaya privatisasi seluruh unit usaha Pertamina.
“Sesuai dengan yang sudah diperkirakan, saat ini mulai terbukti telah terjadi proses privatisasi PT Pertamina Geothermal Energy yang dilakukan melalui aksi korporasi IPO atas kepemilikan negara melalui BUMN Pertamina di PGE oleh Pemerintah melalui Kementerian terkait,” ujar dia lewat keterangan tertulis pada Selasa, 7 Februari 2023.
Ia menduga gelagat korporasi itu tidak berlandaskan kajian yang prudent (bijaksana) dan tanpa due diligence (semacam investigasi) yang bisa dipertanggungjawabkan. Sehingga, kata Arie, merugikan negara serta berpotensi adanya pelanggaran hukum yang cenderung menguntungkan sekelompok/golongan tertentu. “Bukan untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat umum,” tegasnya.
Padahal di sisi lain, kata Sekretaris Jenderal FSPPB Sutrisno, PGE sebagai bagian dari afiliasi Pertamina, selama ini baik baik saja.
“PGE telah mencapai begitu banyak prestasi dan tumbuh sebagai salah satu perusahaan yang mengelola energi terbarukan serta menjadi masa depan elektrifikasi Indonesia di sektor hulu,” ucapnya.
Bahkan sampai tahun 2022, sebut Sutrisno, PGE memegang kuasa atas wilayah kerja panas bumi (WKP) terbesar di Indonesia dengan total 13 wilayah kerja, berikut kapasitas total PLTP di Indonesia sebesar 2.292 Mega Watt (MW).
“Hal itu menjadikan Indonesia sebagai negara pemilik cadangan terbesar di dunia atas sumber energi geotermal yang bersih, ramah lingkungan dan terbarukan,” pungkasnya.[] Zainul Krian