Mediaumat.id – Terlaksananya agenda KTT Arab-Cina pada Desember 2022 lalu, yang melibatkan enam negara Dewan Kerja Sama Teluk (GCC) dan sejumlah negara Arab lain yang digelar terpisah, menunjukkan kondisi buruk para penguasa Arab sejak runtuhnya institusi khilafah pada tahun 1924.
“Para penguasa Arab saat ini dan bahkan para penguasa Muslim, berada dalam kondisi terburuk mereka sejak kehancuran khilafah,” ujar Amir Hizbut Tahrir Syekh Atha bin Kholil Abu al-Rashta dalam Rubrik Tanya Jawab seputar KTT Cina-Arab, yang diunggah di akun Facebook Emir Hizb ut Tahrir, Jumat (16/12/2022).
Pasalnya, setelah puluhan tahun sejak Kekhilafahan Utsmaniah runtuh kala itu, aspek ekonomi negara Arab secara komprehensif terjadi kegagalan, sehingga negara-negara ini layaknya hutan kering menunggu seseorang menyalakan korek api.
Tengoklah di hampir seluruh negara Arab yang justru berkewajiban membayar lebih dari setengah pajak yang dikumpulkan sebagai bunga atas pinjaman riba.
Ditambah nilai tukar mata uang yang runtuh dan inflasi yang bisa memicu gelombang protes. “Mata uangnya mulai runtuh secara dramatis, dan harga naik tajam sebagai akibat dari kebijakan ekonominya yang gagal dan ketergantungannya yang dalam pada Barat, yang mengancam akan memicu protes,” urainya.
Celakanya, realitas ini menurut Syekh Atha, menjadikan para penguasa dimaksud memandang Cina sebagai penyelamat ekonomi potensial mereka. Apalagi melalui proyek luar negerinya yang besar, Cina dianggap berpotensi melakukan investasi yang juga besar di negara-negara Arab ini.
Padahal, sambung Syekh Atha, tujuan Cina dalam KTT ini jelas karena aspek ekonomi, bukan kerjasama terkait peniadaan tindakan brutal atas Muslim Uighur, Xinjiang, misalnya.
“Perlu dicatat (pula) bahwa para pemimpin Arab tidak berpikir, selama KTT ini, untuk mengangkat tindakan brutal Cina terhadap Muslim di wilayah Xinjiang, Turkistan Timur, dalam percakapan ‘ramah’ mereka dengan presiden Cina, dan mereka hanya tidak dibahas seolah-olah mereka tidak ada,” jelasnya, menyayangkan.
Karenanya, sekali lagi ia pun menyebut hal demikian sebagai bagian kegagalan para penguasa negeri Arab dalam hal kepedulian terhadap sesama Muslim.
“Sebaliknya, pembicaraan terfokus pada hubungan ekonomi dan perdagangan internasional (saja),” pungkasnya.[] Zainul Krian