Mediaumat.id – Memperingati 102 tahun keruntuhan khilafah pada 28 Rajab 1444 H, Amir HT Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah menyampaikan bahwa penegakan kembali sistem kepemimpinan umum yang menggunakan syariat Islam sebagai dasar tersebut termasuk perkara yang agung.
“Sungguh penegakan khilafah merupakan perkara yang agung,” ujarnya, dalam keterangan tertulis, Ahad (19/2/2023), dalam rangka memperingati Isra Mi’raj sekaligus runtuhnya Khilafah Islam di bulan Rajab.
Bahkan ia mengulas, kaum Muslim dahulu bersegera membaiat khalifah sebelum mengurus, berikut menunaikan kewajiban mengubur jenazah Rasulullah SAW yang mulia. “Semua itu karena urgensitas khilafah,” tegasnya.
Begitu pula ketika Khalifah Umar bin Khattab wafat. Sesaat sebelumnya, khalifah kedua umat Islam tersebut telah menetapkan jangka waktu tiga hari, tidak lebih, untuk pemilihan khalifah dari enam orang yang telah diberi berita gembira surga.
Mereka adalah Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Sa`ad bin Abi Waqqas, Zubair bin Awwam dan Thalhah bin Ubaidillah. “Selama jangka waktu itu maka orang yang menyelisihi dibunuh,” ucap Abu ar-Rasytah, menukil perintah Umar kala itu.
Lantas hal itu didengar dan dilihat oleh para sahabat dan tidak dinukilkan dari mereka adanya seorang pun yang mengingkari sehingga, sambungnya, menjadi ijmak dari para sahabat.
Berikutnya yang tak kalah penting, kata Abu ar-Rasytah, dengan dibaiatnya seorang imam/khalifah, umat Islam bakal memiliki perisai untuk melindungi mereka dari segala macam kezaliman yang menyakitkan seperti halnya yang terjadi di negeri-negeri Muslim saat ini.
“Sesungguhnya imam adalah perisai, orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya,” ujarnya, mengutip sebuah hadits sahih muttafaq ‘alayh.
Musibah Besar
Menurutnya, betapa penghancuran institusi khilafah ketika itu telah menjadikan negara kaum Muslim terpecah menjadi lebih dari 50. “Sekarang negaranya umat terpecah-pecah menjadi lebih dari lima puluh pecahan,” ungkapnya.
Lantas dari situlah terjadi ‘permusuhan’ yang sangat hebat di antara para penguasa negeri Muslim. Sampai-sampai, tutur Abu ar-Rasytah, gempa bumi Suriah dan Turki yang sangat parah pada pertengahan bulan ini, tidak dapat menghilangkan perpecahan dan mengembalikan persatuan mereka dalam satu negara.
Celakanya, mereka tidak mengambil pelajaran dari terjadinya peristiwa itu. Padahal, kata Abu ar-Rasytah, Allah SWT telah mengingatkan di dalam QS at-Taubah ayat 126, yang artinya : ‘Dan tidaklah mereka memperhatikan bahwa mereka diuji sekali atau dua kali setiap tahun, dan mereka tidak (juga) bertaubat dan tidak (pula) mengambil pelajaran?’
Dengan kata lain, di antara umat dan para penguasanya terdapat gap sangat jauh, sejauh timur dan barat. “Semua perbedaan sangat nyata itu terjadi setelah 102 tahun sejak terjadinya musibah besar dengan dihapusnya al-Khilafah,” terangnya, menyinggung kembali kondisi negeri-negeri Muslim yang saat ini tercerai-berai tanpa pemersatu, khilafah.
Hal yang lain, berbagai kezaliman juga terjadi di berbagai penjuru negeri kaum Muslim. Di antaranya, konflik Palestina-Israel yang hingga kini masih terus berlanjut berikut segala kebrutalan penjajah Yahudi Israel atas tanah yang diberkahi tersebut.
Celakanya lagi, di saat yang sama, para penguasa negeri Muslim justru melakukan kejahatan berupa normalisasi dengan entitas penjajah Yahudi tersebut. Di antaranya penguasa Mesir, Yordania, Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan yang terbaru Sudan. “Terakhir Sudan menyusul mereka melakukan kejahatan,” cetus Abu ar-Rasytah.
Di sisi lain, dengan tidak adanya khilafah, bukan Palestina saja yang ‘ditikam’ oleh para penguasa negeri Muslim. Sebutlah, Pakistan yang diam seribu basa tatkala wilayah Kashmir dianeksasi kaum musyrik Hindu India.
“Kaum Muslim Rohingya dibantai di Myanmar, sementara penguasa Bangladesh seolah-olah tidur nyenyak tidak melihat,” tambahnya.
Pun demikian dengan negara-negara yang eksis di negeri kaum Muslim malah membisu laksana mayat di dalam kubur ketika rezim Cina melakukan pembantaian atas kaum Muslim di wilayah Turkistan Timur.
Bahkan jika unjuk bicara, mereka mengatakan bahwa pembantaian itu adalah urusan dalam negeri Cina. “Alangkah buruknya kata-kata yang keluar dari mulut mereka; mereka tidak mengatakan (sesuatu) kecuali dusta,” singgungnya, mengutip QS al-Kahfi ayat ke-5.
Seakan tak cukup menimpakan kerendahan terhadap kemuliaan Islam, lanjutnya, kaum kafir penjajah juga lancang menistakan akidah umat. Aksi pembakaran mushaf Al-Qur’an di depan kedutaan besar Turki di Stockholm pada Sabtu (21/1) dan disusul aksi serupa di Den Haag dan Kopenhagen pada Jumat (27/1) lalu, misalnya.
“Pembakaran mushaf Al-Qur’an adalah sebuah deklarasi perang terhadap umat Islam dan akidahnya, sehingga balasannya adalah berupa perang yang akan mencerai-beraikan orang-orang di belakang mereka dengan menumpas mereka,” tandasnya, sembari menyampaikan QS Al-Anfal ayat 57 yang artinya:
‘Jika kamu menemui mereka dalam peperangan, maka cerai beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran.’
Lantaran itu, menurut Abu ar-Rasytah, segala bentuk agresi atas kaum Muslim tidak bisa dilawan dengan kata-kata yang kosong tak punya makna. Tetapi, harus dilawan dengan ‘tajamnya pedang’, dan ‘pukulan’ yang membuat musuh melupakan bisikan-bisikan setan.
“Inilah yang dahulu dilakukan oleh kaum Muslim ketika mereka memiliki khilafah. Jalannya berbagai peristiwa pada masa mereka mengatakan hal itu. Ini merupakan perkara yang terbukti, tidak dapat diingkari oleh orang yang memiliki mata dan penglihatan,” pungkasnya.[] Zainul Krian