Amerika dan Proyek Deradikalisasi

Oleh: Romadhon – LARAS (Lingkaran Analisis Komperehensif)

Terkait isu terorisme, deradikalisasi dalam 10 tahun terakhir menjadi ungkapan yang cukup populer. Secara bahasa deradikalisasi berasal dari kata “radikal” yang mendapat imbuhan “de” dan akhiran “sasi”. Radikal sendiri berasal dari kata “radix” yang dalam bahasa Latin artinya “akar”. Jika ada ungkapan “gerakan radikal” maka artinya gerakan yang mengakar atau mendasar, yang bisa berarti positif (untuk kepentingan dan tujuan baik) atau negatif. Dalam Kamus, kata radikal memiliki arti secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip), sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak (KBBI, ed-4, cet.I.2008). Dalam pengertian ini, hakikatnya sebuah sikap “radikal” bisa tumbuh dalam entitas apapun, tidak mengenal agama, batas teritorial negara, ras, suku dan sekat lainnya.

Namun dalam konteks isu terorisme, radikal pemaknaannya menjadi sangat stereotip, over simplikasi dan subyektif. “Radikal” sebuah label yang dilekatkan kepada individu atau kelompok muslim yang memiliki cara padang, sikap keberagamaan dan politik yang bertentangan dengan mainstream yang ada. Atau dengan katagorisasi sebagai alat identifikasi, “radikal” adalah orang atau kelompok jika memiliki prinsip-prinsip seperti; menghakimi orang yang tidak sepaham dengan pemikirannya, mengganti ideologi Pancasila dengan versi mereka, mengganti NKRI dengan Khilafah, gerakan mengubah negara bangsa menjadi negara agama, memperjuangkan formalisasi syariat dalam negara, menganggap Amerika Serikat sebagai biang kedzaliman global.

Maka yang dimaksud “de-radikalisasi” adalah langkah upaya untuk merubah sikap dan cara pandang diatas yang dianggap keras (dengan julukan lain; fundamentalis) menjadi lunak; toleran, pluralis, moderat dan liberal.

Definisi radikal diatas sangat bias, persis seperti dunia Barat menjelaskan konsep radikal secara simplistik, bahwa radikalisme banyak diasosiasikan dengan mereka yang berbeda pandangan secara ektrem dengan dunia Barat (Lihat laporan utama majalah Time ed 13 September 2004, setebal sembilan halaman menjelaskan konsep radikal menurut kacamata Barat).

Hal ini sama biasnya terjadi ketika mendefinisakan “terorisme”. Sebuah labelisasi kepada kelompok atau individu muslim yang secara fisik atau non fisik mengancam kepentingan global imperialisme Barat. Di Indonesia dengan asumsi definisi terorisme no global concencus (tidak ada kesepakatan global), akhirnya pemaknaan dan implementasi kontra-terorisme melahirkan banyak korban dan umat Islam menjadi obyek sasaran.

T.P.Thornton dalam Terror as a Weapon of Political Agitation (1964) mendefinisikan terorisme sebagai penggunaan teror sebagai tindakan simbolis yang dirancang untuk mempengaruhi kebijakan dan tingkah laku politik dengan cara-cara ekstra normal, khususnya dengan penggunaan kekerasan dan ancaman kekerasan. Terorisme dapat dibedakan menjadi dua katagori, yaitu enforcement terror yang dijalankan penguasa untuk menindas tantangan terhadap kekuasaan mereka, dan agitational terror, yakni teror yang dilakukan mengganggu tatanan yang mapan untuk kemudian menguasai tatanan politik tertentu.

Jadi sudah barang tentu dalam hal ini, terorisme selalu berkaitan erat dengan kondisi politik yang tengah berlaku. Karena itu istilah ini juga rentan dipolitisasi. Kekaburan definisi membuka peluang penyalahgunaan. Namun pendefinisian juga tak lepas dari keputusan politis.

Maka deradikalisasi dan kontra-radikalisasi pada konteks ini adalah kebijakan politik sebagai upaya baik dalam bentuk langkah strategis maupun taktis untuk memotong seluruh variabel yang dipandang sebagai stimulan lahirnya tindakan “terorisme” baik pra maupun pasca (terkait pembinaan terhadap narapidana dan mantan combatan). Program ini lebih menekankan “soft approach”, baik kepada masyarakat secara luas, kelompok tertentu maupun kepada individu-individu tertentu yang masuk dalam jejaring kelompok yang dicap “radikal”, “teroris” dan semacamnya.

Langkah ini juga dikenal sebagai strategi memenangkan hati dan pikiran public (the strategy of winning the heart and mind). Dalam bahasa Ansyad Mbai (Ketua BNPT) sebagai perang untuk memenangkan hati nurani. Membutuhkan banyak strategi dan bersifat jangka panjang. Dan wasilah paling pokok yang menjadi tumpuan dalam “perang” ini adalah media masa (cetak, elektronik dan digital), karena medium ini menjadi tombol kunci dari “mindset control” terhadap persepsi publik. Disamping para komunikan yang dianggap berkompeten untuk mempengaruhi pikiran publik dalam berbagai kesempatan.

Deradikalisasi adalah bagian dari strategi kontra terorisme. Ketika pendekatan hard measure, belum dianggap bisa mereduksi dan menghabisi seluruh potensi yang mengarah ke tindakan “terorisme”, bahkan dianggap belum efektif menyentuh akar persoalan terorisme secara komprehensif. Begitu juga ketika strategi Law Enforcement dirasa kurang memberikan efek jera dan belum bisa menjangkau ke akar radikalisme. Sekalipun diakui cukup efektif untuk “disruption”, tapi tidak efektif untuk pencegahan dan rehabilitasi sehingga masalah terorisme terus berlanjut dan berkembang.

Deradikasilsasi dibangun atas asumsi adanya ideologi radikal yang mengeksploitasi faktor komplek yang ada (kemiskinan, keterbelakangan, marginalisasi, pemerintahan otoriter, dominasi negara super power, globalisasi dan sebagainya), melahirkan spirit perlawanan dan perubahan dengan tindakan-tindakan teror ketika jalan damai (kompromi) dianggap tidak memberikan efek apapun. Maka ideologi radikal ditempatkan sebagai akar sesungguhnya dari fenomena terorisme. Dalam kerangka pandangan seperti inilah program deradikalisasi dijalankan.

Pelaksana strategi ini telah belajar dari pengalaman Indonesia selama lebih dari 50 tahun menangani DI/NII telah membuktikan bahwa hard power approach bukan jawaban tepat. Asumsinya selama ideologi radikal mereka tidak bisa dinetralisir, selama itu pula mereka terus melakukan aksi terorisme. Mengambil kasus situasi di Afghanistan dan Irak, maka dalam deradikalisasi ada upaya menggeser kepada obyek sasaran lebih luas, yaitu kepada pihak yang dianggap pengusung ideologi radikal-fundamentalis. Yang diposisikan sebagai eksploitator terhadap faktor dan realitas ketimpangan sosial politik dalam konteks global maupun lokal Indonesia.

Drama War on Terrorism dan semua peristiwa turunannya di Indonesia tidak terjadi secara masif kecuali pasca peristiwa WTC 9/11/2001. Kemudian AS secara sepihak membagi dunia menjadi dua: bersama Amerika atau bersama teroris. Dari beberapa dokumen, terungkap dukungan dana mengucur deras hingga mencapai lebih dari 500 juta Euro untuk proyek long term dari negara Eropa (Australia, Denmark, Belanda dan lainnya) kepada Densus 88 dan program peningkatan capacity building terhadap aparat kepolisian dan Intelijen Indonesia. AS sendiri melalui Obama menyiapkan lebih dari 5 miliar US$ untuk membuat program kerjasama keamanan bersama guna menempa badan intelijen internasional dan infrastruktur penyelenggaraan hukum demi melumpuhkan jaringan teroris dari pulau-pulau terpencil di Indonesia hingga ke kota-kota yang membujur di Afrika. Bocoran Wikileaks (yang dimuat di harian Australia The Age,17/12/2010) mengkonfirmasi bagaimana hubungan AS dan sekutunya dengan pemerintah Indonesia dalam isu terorisme.

Di salah satu bocoran Wikileaks yang dimuat oleh harian Sydney Morning Herald (15/12/2010) juga menyebut Australia memberikan dukungan kepada SBY dalam Pilpres 2009 lalu. SBY didukung karena dinilai sukses dalam kerjasama antiterorisme. Bahkan, Indonesia secara intens juga segaris dengan kebijakan PBB dalam proyek kontra terorisme sejak awal. Indonesia menunjukkan komitmen melaksanakan ketentuan hukum internasional mengenai pemberantasan terorisme dan sejauh ini telah meratifikasi 7 dari 16 instrumen internasional terkait terorisme.

Ini indikasi yang cukup untuk menjelaskan bahwa proyek deradikalisasi dan kontra radikalisasi adalah bagian dari strategi WOT di mana arahan dan paradigma Barat (AS) menjadi basis implementasinya.[]

Share artikel ini: