Amerika dan Jalan Buntu Afghanistan: Indikator Runtuhnya Negara Adidaya di Dunia

 Amerika dan Jalan Buntu Afghanistan: Indikator Runtuhnya Negara Adidaya di Dunia

Mediaumat.id – Amerika menelan pahitnya kekalahan di Afghanistan, di negeri Muslim, menyusul gelegar kejatuhan yang belum pernah disaksikan sebelumnya, di mana telah terkumpul semua elemen kejatuhan dan kekalahan dari dua aspek, yaitu militer dan ekonomi.

Waktu berputar kembali, saat Uni Soviet dikalahkan yang ketika itu tengah menduduki Afghanistan pada tahun 1978. Perang yang berlangsung hampir sepuluh tahun itu mengakibatkan puluhan ribu orang meninggal, termasuk jutaan warga Afghanistan yang mengungsi. Namun semua itu tidak membuat kaum Muslim Afghanistan tunduk pada pendudukan Uni Soviet, mereka berjuang dalam pertempuran sengit melawannya. Akibatnya, pasukan Rusia terjebak di tanah Afghanistan, sampai akhirnya mereka dipaksa hengkang, dan meninggalkan warisan permusuhan ideologis dan historis.

Mungkin adegan penarikan Amerika dari Afghanistan tampak dramatis, ketika presidennya, Joe Biden, mengumumkan penarikan terakhir, yang sebenarnya dimulai pada 1 Mei 2021, dan akan selesai pada 31 Agustus 2021. Di bawah beban penarikan, ibu kota Afghanistan mulai jatuh ke tangan Taliban, di mana Amerika meninggalkan pangkalan Bagram pada malam hari, tanpa memberi tahu sekutunya, pemerintah Ashraf Ghani. Presiden AS, Joe Biden mengatakan, “Pasukan Amerika tidak boleh berperang dan mati di perang yang ditolak oleh pasukan Afghanistan” (france24.com, 16/08/2021).

Amerika menginvasi Afghanistan pada Oktober 2001 untuk menggulingkan Taliban, dengan dalih menyembunyikan Osama bin Laden, dan tokoh-tokoh al-Qaedah lainnya, yang dituduh melakukan serangan 11 September, ketika Bush Junior menyatakannya sebagai perang salib, dan meminta pemerintah Taliban untuk menyerahkan Osama bin Laden, yang dituduh membom Gedung Menara Kembar World Trade Center (WTC) di New York. Taliban menolak untuk menyerahkannya. Karena itu, Amerika menyeru dunia, menyiapkan opini global, dan merancang rencana jangka panjang untuk menyerang Islam dan kaum Muslim, dengan dalih (memerangi terorisme), serta untuk melenyapkan setiap persenjataan yang ada di negeri-negeri Muslim melalui kebijakan yang sistematis. Amerika menciptakan pembenaran bagi mereka yang ditargetnya dengan dalih memerangi (terorisme), di mana tujuan sebenarnya adalah memadamkan Islam. Amerika memasuki Afghanistan yang diduduki, lalu melibatkan NATO, yang kemudian diikuti oleh Inggris dan Prancis yang memberi dukungan logistik melalui Pakistan, Iran dan negara-negara Teluk, di mana kekuatan mereka berjumlah 110 ribu tentara pada tahun 2011.

Amerika berencana untuk membersihkan dunia seperti sekarang, yang tanpa pesaing internasional di masa depan, sebagai negara adidaya di dunia. Untuk itu, Amerika menjadikan Islam sebagai musuh utamanya. Sehingga tidak ada ruang bagi Islam untuk menjadi agama dan negara, di bawah panji yang meyatukan kaum Muslim, yaitu negara Khilafah. Bush melontarkan ucapannya yang terkenal, “bersama kami atau melawan kami”, bahkan menyebutnya sebagai perang suci dengan nama perang salib.

Amerika telah menghabiskan miliaran dolar untuk tentara Afghanistan, mulai dari senjata, amunisi, dan pelatihan, termasuk juga drone, helikopter, dan banyak lagi yang lainnya. Menurut studi yang dilakukan oleh Brown University of America yang berlokasi di Providence, Rhode Island, pada tahun 2019, yang memantau proses pengeluaran untuk perang di Afghanistan dan Pakistan, bahwa Amerika Serikat menghabiskan sekitar 978 dolar miliar, perkiraan mereka juga termasuk dana untuk anggaran tahun 2020.

Pengeluaran yang besar ini tidak mampu menciptakan kemenangan, juga tidak mampu membangun negara seperti yang diinginkannya. Hasilnya justru nol besar, karena tidak ada doktrin tempur untuk tentara Afghanistan. Jadi, atas dasar apa tentara Afghanistan membela tentara AS, atau membela pemerintahan boneka Ashraf Ghani? Jadinya Amerika stress dan bingung!

Kemudian datanglah gemuruh keruntuhan Amerika, yang terjadinya bagaikan mimpi. Pada Ahad malam, 15 Agustus 2021, Taliban berhasil menguasai istana kepresidenan, di ibu kota, Kabul, dan bandara militer kota itu, setelah penarikan pasukan Amerika yang menduduki Afghanistan, dua puluh tahun lalu. Seperti yang dikatakan Joe Biden, “Afghanistan adalah kuburan para penjajah, dan dia tidak menyesali penarikan itu” (bbc.com, 7/8/2021).

Reaksi internasional datang dari para pemikir dan politisi Amerika. Dalam kolom opini di Wall Street Journal, mantan Wakil Presiden AS Mike Pence menggambarkan penarikan itu sebagai penghinaan terhadap kebijakan luar negeri yang lebih memalukan daripada yang dihadapi negara kita sejak krisis sandera Iran (Surat kabar Sputnik Arabic).

Majalah National Interest, dalam sebuah artikel oleh akademisi Mark Katz, membahas dampak runtuhnya rezim pemerintahan Ashraf Ghani, dan masalah-masalah apa yang dapat mempengaruhi musuh-musuh Amerika Serikat. Mark Katz seorang profesor ilmu politik di George Mason University di Virginia, AS, juga sebagai Anggota Senior Nonresiden di Dewan Atlantik, menulis, “Banyak pengamat, dulu dan sekarang, berspekulasi bahwa rezim otoriter korup yang bersekutu dengan Amerika Serikat akan jatuh, yang kemudian digantikan oleh rezim yang mengerikan, dan lebih tirani …. Jatuhnya Kabul sangat menyakitkan bagi rakyat Afghanistan …. Semua itu merupakan indikasi kegagalan upaya Amerika, yang membutuhkan waktu dua dekade untuk membangun pemerintahan Afghanistan, yang lebih menarik daripada Taliban” (aljazeera.net, 16/08/2021).

Penulis lain, di majalah New York Times, yaitu jurnalis Amerika David Sanger, koresponden New York Times dari Gedung Putih, dan analis urusan keamanan nasional di surat kabar tersebut, mengatakan dalam artikel terakhirnya: “Biden akan tercatat dalam sejarah, sebagai presiden yang mengawasi tindakan memalukan terakhir, terkait percobaan Amerika di Afghanistan”.

Amerika berada dalam kesulitan sejarah ini, di mana cara berfikirnya yang rumit, yang didasarkan pada kolonialisme, merendahkan masyarakat, memanfaatkan dunia untuk melayaninya, serta kegagalan ideologinya yang rusak, seperti sistem pemerintahannya, serta dukungan dan dedikasinya terhadap rezim yang korup, seperti kediktatoran, kerajaan, dan sebagainya; juga sistem ekonomi yang dijalankan dengan penjarahan kekayaan rakyat, melalui perusahaan lintas benua, dan dana keuangan global yang berdasarkan riba; serta sistem sosial yang mengeksploitasi perempuan, menjamin berbagai kebebasan, dan konsep rusak lainnya, maka pasti semua itu akan membawa Amerika ke tempat peristirahatannya yang terakhir.

Pada dasarnya Taliban sedang menyadari pelajaran, dan berupaya merevisi pendekatannya dengan mengacu pada hukum-hukum Islam yang agung. Karena Islam melindungi semua orang yang berpegang teguh padanya dari jebakan politik yang mematikan, yang terkadang lebih berbahaya daripada perang. Apa yang tidak dimenangkan Amerika dalam perang, dapat dimenangkannya di meja perundingan, yang dapat menyebabkan kematian, dan kehancuran atas capaian yang diraih Taliban selama dua puluh tahun pertempuran mereka dengan Amerika di Afghanistan.

Ada model-model yang diambil Amerika untuk memperoleh keuntungan politik melalui negosiasi. Di Sudan, di mana Amerika bergabung dengan Intergovernmental Authority on Development (IGAD), organisasi yang terdiri dari negara-negara Tanduk Afrika, dan menginstruksikan kliennya, Omar al-Bashir, untuk meminta intervensi IGAD guna memecahkan masalah Sudan Selatan. Amerika mengadopsi proyek tersebut, dan mengirim utusan khususnya, Pendeta John Danforth, untuk merekayasa negosiasi dengan gerakan pemberontak John Garang di Sudan Selatan dan Pemerintah Sudan. Sehingga apa yang tidak dicapai John Garang dalam dua puluh tahun, ia capai dalam beberapa bulan saja. Kemudian negosiasi itu telah membawa pada pemisahan Sudan selatan melalui gagasan hak untuk menentukan nasib sendiri, dan pembentukan negara dengan karakter Kristen. Dengan demikian, Sudan tetap berada di bawah benih perpecahan. Ya, begitulah Amerika.

Amerika juga bertindak dalam masalah Suriah dengan cara yang jahat karena mendukung oposisi, dan ketika menyadari bahwa oposisi di lapangan tanpa memiliki inkubator politik sebagai kekuatan yang akan membelanya, maka Amerika membiarkan Bashar tetap berkuasa, dan kemudian menggunakan metode kebijakan bumi hangus melalui Rusia, yang terlibat kuat untuk melestarikan bentuk rezim sekuler di Suriah. Negosiasi Jenewa 1, Jenewa 2 dan Astana dilakukan, namun semua negosiasi itu tidak menemukan penerimaan di tengah-tengah revolusi Suriah, yang mengambil bentuk berbeda dari semua revolusi yang meletus di Timur Tengah, di mana Amerika menyerukan istilah sistem sekuler, namun tidak diterimanya, sebab revolusi Suriah berpegang teguh dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan demikian, percikan revolusi Suriah tetap ada.

Berbagai laporan berita menyatakan bahwa Taliban bertekad untuk membangun negara dengan perbatasan geografis Afghanistan, duduk dengan mantan para pemimpin pemerintah boneka Amerika yang berlumuran darah kaum Muslim, terus bernegosiasi dengan Amerika melalui dapur Teluk Amerika di Doha, dan membuka garis dengan para pemimpin boneka Turki … Sungguh, semua ini adalah kesalahan politik yang fatal, pelanggaran terhadap syariah yang akan membawanya pada kehancuran, juga menunjukkan kurangnya komitmen terhadap syariah Islam, tidak menjadikan Islam sebagai dasar ketika keadaan benar-benar menuntutnya untuk bernegosiasi, serta kurangnya komitmen terhadap hukum Islam yang lainnya terkait politik dalam dan luar negeri.

Merayu Amerika dan Eropa untuk melunakkan hatinya setelah mereka dihinakan di medan perang di Asia adalah kerugian yang nyata. Allah SWT berfirman:

﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَتَّخِذُواْ بِطَانَةً مِّن دُونِكُمْ لاَ يَأْلُونَكُمْ خَبَالاً وَدُّواْ مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاء مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِن كُنتُمْ تَعْقِلُونَ﴾

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (TQS. Ali Imran [3] : 118).

Gagasan negosiasi berdasarkan konsesi adalah senjata mematikan yang digunakan oleh Amerika. Sehingga untuk keberhasilannya, Amerika memanfaatkan semua potensi politik, geopolitik, media, dan organisasi internasionalnya.

Taliban telah mengambil kendali inisiatif dan membingungkan pentas dunia. Taliban diterima dengan baik oleh rakyat Pakistan, Uzbekistan, Tajikistan dan Chechnya. Situasi di Afghanistan dan sekitarnya telah memenuhi syarat untuk mendeklarasikan Khilafah, Afghanistan ibukotanya, dari jebakan negosiasi dan intrik konspirasi internasional.

Kesadaran politik tidaklah lengkap tanpa kesadaran akan pemahaman tentang realitas, dan bagaimana menghukuminya dengan hukum Islam. Sehingga segala sesuatunya terutama yang bersifat ideologis akan menjadi jelas atas dasar Islam yang agung.

Pengalaman Amerika dalam menyerang Islam dan mendistorsi citranya adalah salah satu tujuan Amerika, dan itu adalah citra yang melekat di benak para politisi dan pemikir Amerika. Mereka berusaha untuk mendapatkan kesempatan guna menggerakkan opini dunia dalam melawan mereka yang terikat dan taat dengan hukum Islam, yaitu melalui upaya monsterisasi Islam dan menciptakan kemiskinan yang parah di antara kaum Muslim. Ini semua akibat dari ketiadaan intelektual dan kemerosotan yang dialami umat Islam, sebab kebenaran dan kebatilan sulit dibedakan oleh mereka. Sementara Amerika dapat menghela napas lega karena berhasil membersihkan dunia dari pesaingnya, sehingga menjadikan Amerika sebagai negara adidaya di dunia.

Model-model pemerintahan yang diciptakan Amerika untuk memerintah atas nama Islam yang dibungkus kepalsuan dan kebohongan hadir di benak masyarakat, seperti Pemerintahan Keselamatan (Salvation Government) di Sudan, Pemerintahan Khomeini di Iran, Erdogan di Turki, dan sejumlah kendaraannya yang digunakan untuk menembus ombak, seperti gerakan An-Nahdhah di Tunisia yang dipimpin oleh Ghannouchi, dan Morsi di Mesir, di mana mereka ini telah mencampuradukkan konsep kufur dan menempelkannya pada nama Islam yang agung yang dibungkus kepalsuan dan kebohongan. Namun semua itulah yang kemudian membawa mereka kepada kehancuran, dan membingungkan umat tentang Islam, sehingga umat Islam menjadi bingung secara intelektual, yang membuatnya didominasi oleh pemikiran dangkal dan keputusasaan, lalu melarikan diri dari pemikiran mendalam yang membawanya pada memahami Islam yang agung dengan benar untuk diamalkannya.

Kesempatan yang datang dan lalu mempermalukan Amerika di tanah Afghanistan, serta kebingungannya yang tampak begitu linglung mirip dengan skenario hengkangnya Uni Soviet dari Afghanistan pada tahun 1989 setelah sepuluh tahun pertempuran berdarah, kemudian Uni Soviet dipermalukan dan dihinakan di Afghanistan. Sungguh, hengkangnya Uni Soviet yang memalukan itu diikuti dengan runtuhnya ideologi komunis dan negaranya pada tahun 1991 dari arena konflik internasional.

Kejadiannya sama akan berulang, bahwa hengkangnya Amerika akan menjadi kehinaan yang memalukan, yang pada akhirnya Amerika akan terlempar sepenuhnya dari arena konflik internasional, yaitu dengan dideklarasikannya Negara Khilafah Rasyidah ‘ala minhājin nubuwah. Sungguh begitu mudahnya bagi Allah SWT untuk mewujudkan semua itu.

﴿وَاللّهُ غَالِبٌ عَلَى أَمْرِهِ وَلَـكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ﴾

Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (TQS. Yusuf [12] : 21). [Syeikh Muhammad Al-Samani]

Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 21/10/2021.

 

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *