Ali Baharsyah Divonis 1,5 Tahun, Kuasa Hukum: Keputusan Zalim!

 Ali Baharsyah Divonis 1,5 Tahun, Kuasa Hukum: Keputusan Zalim!

Mediaumat.news – Vonis bersalah dan kurungan 1 tahun 6 bulan penjara terhadap Aktivis Islam Alimuddin Baharsyah oleh majelis hakim dalam sidang putusan siang tadi di Pengadilan Negeri Jakarta dinilai kuasa hukum sebagai keputusan zalim.

“Keputusan zalim!” tegas Ketua Umum LBH Pelita Umat Chandra Purna Irawan kepada Mediaumat.news, Selasa (9/3/2021).

Karena, ungkap Chandra, sebagaimana terungkap dalam persidangan sebelumnya, Ali tidak terbukti menyampaikan berita bohong apalagi sampai menimbulkan keonaran sehingga tidak bisa divonis melanggar Pasal 14 ayat (1) UU tahun 1946 terkait berita bohong yang menerbitkan keonaran di kalangan rakyat.

Sayangnya, lanjut Chandra, hakim malah menerima pendapat jaksa penuntut umum (JPU) seraya mengabaikan dalil yang disampaikan kuasa hukum Ali Baharsyah.

Duduk Persoalan

Dalam persidangan, JPU memperkarakan dengan tuduhan hoaks (berita bohong) lantaran Ali dalam vlog-nya yang viral awal April 2020 menyatakan “……Ini lagi ada virus darurat kesehatan, koq yang diterapin malah kebijakan darurat sipil….”

Ali mengaku menyatakan itu lantaran Presiden Jokowi pada 30 Maret 2020 menyatakan, “Saya minta kebijakan pembatasan sosial berskala besar, physical distancing, dilakukan lebih tegas, lebih disiplin, dan lebih efektif lagi. Sehingga, tadi sudah saya sampaikan bahwa perlu didampingi adanya kebijakan darurat sipil.”

Sedangkan menurut Chandra, itu bukan hoaks karena kata “didampingi” memiliki maksud yang sama dengan kata “diterapin” atau diterapkan. Sebagai contoh, “Saya menyopir mobil didampingi istri”. “Kata ‘didampingi’ menunjukkan bahwa istri ikut serta dalam mobil,” beber Chandra.

Ia menilai konteks kalimat utuh, “Didampingi adanya kebijakan Darurat Sipil” dan “Diterapin kebijakan darurat sipil” memiliki medan makna yang sama. “Keduanya bermakna (subjek/PSBB) perlu dipraktikkan/ditemani/disertai dengan kebijakan darurat sipil,” bebernya.

Chandra juga mengatakan, apabila yang menjadi alasan JPU saat ini yang diterapkan adalah PSBB bukan darurat sipil adalah tidak tepat dikarenakan locus delicti dan tempus delicti  di Jakarta sedangkan Jakarta menerapkan PSBB pada tanggal 9 April 2020 dan terdakwa dilaporkan 1 April 2020, ditangkap 3 April 2020.

“Bahwa hukum pidana tidak boleh berlaku surut berdasarkan asas hukum lex praevia dan asas non-retroaktif,” tegasnya.

Selain itu, beber Chandra, JPU juga tidak bisa membuktikan adanya akibat unggahan video terdakwa. Hal ini bisa dilihat dan dibaca pada surat tuntutan JPU, dalam surat tuntutan JPU menyatakan “dapat menimbulkan keonaran di kalangan rakyat”, frasa “dapat menimbulkan keonaran di kalangan rakyat” menunjukkan bahwa JPU tidak yakin dan tidak bisa membuktikan adanya akibat unggahan terdakwa.

“Frasa ‘dapat menimbulkan’ dapat dimaknai potensi yang akan timbul, sedangkan Pasal 14 ayat (1) UU No 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dengan frasa ‘dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat’ tidak terdapat kata ‘dapat’,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *