Mediaumat.news – Menyoal alasan pemerintah memindahkan ibu kota dari Jawa ke luar Jawa untuk pemerataan ekonomi, Peneliti dari Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak mengatakan, mungkin ada redistribusi ekonominya tetapi tergantung kebijakan pemerintah.
“Mungkin dari sisi dampak akan ada redistribusi ekonomi ke ibu kota baru ini. Tapi dampak secara kelanjutan, saya kira sangat tergantung pada kebijakannya,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Rabu (02/6/2021).
Ishak menjelaskan, sistem APBN Indonesia dengan bagi hasilnya saat ini antara pusat dan daerah, akan tetap menjadikan daerah-daerah pinggiran mendapatkan ‘kue ekonomi’ yang sangat sedikit.
Ia memisalkan, DKI Jakarta dengan kontribusi pajaknya yang tinggi, Kalimantan Timur dengan pendapatan dari tambangnya yang sangat besar, akan mendapatkan dana bagi hasil yang lebih besar dari pemerintah pusat, dibanding daerah miskin sumber daya alam seperti Bengkulu atau Nusa Tenggara Timur.
“Sehingga setiap tahun akan terjadi ketimpangan. Karena distribusi APBN ini memang tidak merata sejak awal secara sistem,” tegasnya.
Sebelum Lengser
Di sisi lain, kengototan pemerintah melanjutkan rencana pemindahan ibukota dan ditargetkan selesai pada 2024, dinilainya sebagai upaya mewujudkan masterpiece dari Presiden Jokowi sebelum lengser.
Namun ia melihat, rencana pemindahan ibu kota saat ini juga menjadi dilema bagi pemerintah. Sebab dari sisi APBN, saat ini mengalami pendapatan yang turun akibat covid-19. Sehingga pemerintah memiliki dua alternatif. “Menambah utang untuk membiayai pemindahan ibu kota atau melibatkan partisipasi swasta yang lebih besar,” bebernya.
Terlepas sedikit atau banyak besaran utang maupun partisipasi swasta dalam pelaksanaan pemindahan ibu kota tersebut, Ishak menilai, hal itu akan membebani pemerintah. Ia juga mengkhawatirkan dampak buruk berupa pengelolaan ibu kota baru yang nantinya akan dikendalikan swasta.
Oleh karena itu, pemindahan ibu kota, menurutnya, tidak perlu terburu-buru. “Meskipun secara ideal itu ada manfaat positifnya, tapi untuk kondisi sekarang saya kira tidak perlu dilakukan secara terburu-buru,” tambahnya.
Solusi Islam
Seperti diketahui, dampak dari sistem pemerintahan kapitalistik yang memang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi tanpa berupaya mendistribusikan ekonomi secara luas, menurutnya, telah memunculkan problem-problem sosial maupun perekonomian di wilayah dengan konsentrasi penduduk yang berasal dari urbanisasi besar-besaran.
Oleh karena itu, ia menawarkan beberapa hal sebagai bagian solusi Islam. Pertama, negara berkewajiban menjamin kebutuhan dasar seluruh Muslim maupun non Muslim. “Selama dia menjadi warga negara Islam, maka dia harus dijamin kebutuhan pangan, sandang, papan, termasuk juga pendidikan dan kesehatan,” jelasnya.
Kedua, alokasi APBN ke setiap wilayah-wilayah negara Islam bersifat adil. “Daerah itu akan mendapatkan alokasi anggaran berdasarkan kebutuhannya, bukan berdasarkan kontribusinya,” terangnya.
Ketiga, sambung Ishak, pembangunan infrastruktur yang menguasai hajat hidup orang banyak harus dikelola negara dengan sumber pendapatan yang halal. “Jadi tidak mengandalkan (utang/partisipasi) swasta, yang swasta ini tentu saja akan mengejar profit, akan mengejar keuntungan untuk kepentingan dirinya,” pungkasnya.[] Zainul Krian