Oleh : KH Hafid Abdurrahman MA
Ini adalah tamsil yang menarik. Tamsil ini dalam bahasa Arab, berbunyi:
أكلت يوم أكل الثور اﻷبيض
“Aku sebenarnya telah dimakan [singa itu], ketika banteng putih itu dimakan.”
Alkisah, ada tiga banteng; putih, merah dan hitam. Ketiga banteng ini berhadapan dengan seekor singa yang hendak memangsanya. Namun, karena ketiganya bersatu padu, singa itu pun tak bisa memangsa mereka, baik yang putih, merah maupun hitam.
Singa pun tak kelihangan cara. Untuk memangsa ketiganya tidak bisa sekaligus, harus satu-satu. Caranya, dia harus pisahkan ketiganya, dengan bujuk rayu dan muslihat. Singa mulai menjadikan banteng putih sebagai target mangsa. Maka, ia datang kepada kedua banteng yang lain, merah dan hitam. Dia katakan kepada mereka, “Saya akan makan banteng putih, jadi kalau kalian tidak ingin aku mangsa, lebih baik kalian diam saja, tidak perlu membantunya. Kalian akan aku biarkan, dan aman.” Kata singa. Kedua banteng itu pun setuju. Mereka diam saja, saat banteng putih dimangsa singa, tak ada kepedulian sedikit pun, karena yang dimangsa bukan mereka.
Singa itu memangsa banteng putih dengan lahap, tanpa kesulitan berarti, sementara kedua banteng yang lainnya menyaksikan temannya dimangsa, tanpa sedikit pun empati. Mereka salah, dianggap singa itu tak akan memagsa mereka. Maka, setelah hari berganti, giliran mereka yang dimangsa. Tetapi, jika sekaligus, maka singa itu pun tak akan bisa menundukkan mereka. Caranya, sebagaimana cara yang dilakukan singa itu memangs banteng putih.
Singa datang kepada banteng hitam, “Saya akan mangsa benteng merah, kamu diam saja, tidak perlu membantunya. Kamu tidak akan aku mangsa, tenang saja, dan diam. Kamu aman.” Singa itu pun memangsa banteng merah itu dengan lahapnya, tanpa perlawanan berarti, di depan mata banteng hitam. Banteng hitam itu pun hanya melihat dan menyaksikan temannya, banteng merah dimangsa singa, tanpa empati. Seolah itu tidak akan menimpa dirinya. Tapi, dia salah.
Setelah hari berganti, banteng hitam itu tinggal sendiri. Saat tinggal sendiri, singa itu pun memangsanya dengan mudah, sebagaimana kedua temannya yang telah dimangsa singa itu terlebih dahulu. Saat banteng hitam itu menjelang ajalnya, dia mengatakan, “Aku sesungguhnya telah dimakan [singa itu], ketika banteng putih itu dimakan.” Artinya, ketika mereka membiarkan seekor banteng putih dimangsa singa, dan tidak dilawan, akhirnya kekuatan banteng-banteng tadi berkurang, karena tinggal dua ekor, hingga seekor, saat itulah singa dengan mudah melakukan aksinya.
Begitulah, tamsil yang indah, menggambarkan betapa persatuan umat Islam itu penting. Tak hanya penting, tetapi juga wajib. Cara kaum Kafir untuk menghancurkan kekuatan Islam adalah dengan mengadudomba kaum Muslim. Diciptakanlah, “Islam Radikal” vs “Islam Moderat”, “Islam Arab” vs “Islam Nusantara”. Semuanya ini tujuannya satu, menghancurkan kekuatan umat Islam, dan memangsa kaum Muslim.
Bodohnya, ada orang Islam, organisasi Islam, bangga karena tidak dicap kaum Kafir sebagai “Islam Radikal”, dan senang dengan cap, “Islam Moderat”, padahal mereka akan dimakan juga, kelak setelah “Islam Radikal” dijadikan mangsa. Sebab, musuh kaum Kafir, seperti kata Samuel Huntington, bukanlah “Islam Radikal,” atau “Islam Fundamentalis”, tetapi Islam itu sendiri. Dikotomi itu hanya cara yang dilakukan “singa” Kafir untuk memangsa kaum Muslim, dan menghanurkan Islam.
Maka, ketika kaum Kafir melakukan permusuhan bahkan pembubaran terhadap kelompok atau ormas Islam, sekarang diikuti dengan perang terhadap Perda Syariah, targetnya bukan hanya kelompok atau organisasi itu tetapi menghancurkan Islam dan umatnya.
Waspadalah!
Makkah, Selasa, 27 Nopember 2018