Mediaumat.news – Dalam kondisi perekonomian hampir semua negara kapitalis di seluruh dunia terus melesu, setiap negara mengembangkan respons kebijakan yang berbeda-beda meski tujuan mereka sama, yaitu mengungkit kinerja perekonomian domestik agar keluar dari zona perlambatan.
Pengamat dari Pusat kajian dan Analisis data (PKAD) menilai, Tiongkok sebagai salah satu negara yang mengalami risiko perlambatan paling besar sangat progresif merilis kebijakan ekonomi mereka, terutama dengan cara manipulasi nilai tukar mereka.
“di berbagai negara berkembang lainnya, persoalan krisis benar-benar sangat riil. Selain disebabkan perekonomian yang terkoreksi tajam, beban utang luar negeri mereka juga meningkat drastis akibat jatuhnya harga komoditas di pasar dunia. Semakin tinggi ketergantungan sebuah negara terhadap sektor komoditas, semakin parah dampak yang dirasakan.” Ungkap Fajar.
Sementara itu, menurut Fajar perekonomian domestik Indonesia juga mengalami simptom persoalan yang kurang lebih sama.
“Perlambatan ekonomi terus menggerogoti dinamika perekonomian domestik. Melihat kondisi ekonomi Indonesia menghadapi pukulan ganda yang mengakibatkan defisit perdagangan, defisit modal, defisit neraca pembayaran Indonesia dan defisit anggaran.” Imbuh Fajar.
Fajar mengatakan dampak dari semua ini adalah terjadinya ancaman PHK massal. Bahkan di industri manufaktur juga berdampak perlambatan, sedangkan jam kerja sudah berkurang, yang mengakibatkan produksi berkurang.
“Pemerintah, melalui perangkat kebijakannya, terus bermanuver mengendalikan ganasnya situasi dengan pola defensif, sulit keluar dari situasi dilematis ini.” Kata dia.
Fajar mengatakan bahwa kemakmuran yang digambarkan Jokowi adalah kemakmuran negara, kemakmuran rata-rata, bukan kemakmuran nyata per individu masyarakat. Pertumbuhan yang terjadi, barang dan jasa yang dihasilkan, konsumsi yang dilakukan, adalah barang dan jasa yang dilakukan oleh negara.
“Kemakmuran negara hakikatnya tidak menggambarkan kemakmuran warga negara. Bahkan seringkali kenyataannya kemakmuran yang menipu. GNP tinggi, namun rakyat banyak tetap sengsara.” Pungkasnya. (Kur)