Aktivis Muslimah Kritik Menko PMK Soal Pernikahan Dini

Mediaumat.id – Pernyataan Menko PMK Muhadjir Effendy yang menyebut pernikahan dini berpeluang memunculkan keluarga miskin baru, mendapatkan sorotan dari Aktivis Muslimah.

“Publik semestinya mempertanyakan apa ukuran pembangunan manusia ala Menko PMK saat ini?” ujar Aktivis Muslimah Iffah Ainur Rochmah kepada Mediaumat.id, Sabtu (12/11/2022).

Sebab, lanjutnya, orientasi pembangunan manusia saat ini berorientasi ke materi belaka, sebagaimana indeks pembangunan manusia (IPM) yang memang berbasis pada umur panjang dan hidup sehat, pengetahuan dan standar hidup layak. “Sukses ukurannya kapitalistik total,” cetusnya.

Artinya, mempermasalahkan pernikahan di usia muda hanya karena menghalangi produktivitas. Sementara di saat bersamaan, pergaulan bebas yang, menurut Iffah, jelas menunjukkan kebobrokan moral serta menghancurkan masa depan bangsa justru tak tersentuh kebijakan.

Adalah Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Menko PMK) Muhadjir Effendy yang mengajak perguruan tinggi untuk mencegah terjadinya pernikahan dini.

Muhadjir menyebut pernikahan dini berpeluang untuk memunculkan keluarga miskin baru.

“Ketika seusia mereka yang mestinya belum bertanggung jawab, malah harus bertanggung jawab pada keluarga, istri atau suami, dan anak,” kata Muhadjir saat menghadiri kegiatan Pengukuhan Kader, Penandatanganan Komitmen Kampus Penggerak Pencegahan Perkawinan Anak dan Penurunan Stunting Institut Islam Nahdlatul Ulama (Inisnu) dan Akademi Keperawatan Al Kautsar Temanggung, dikutip dalam siaran pers, Rabu (9/11/2022).

Muhadjir juga mengatakan, para pasangan muda yang belum mapan bisa membawa keluarganya menuju jurang kehancuran, bahkan hingga 50 persen. “Peluang pernikahan dini melahirkan rumah tangga miskin baru sangat besar. Hampir 50 persen. Akibat pernikahan dini,” kata dia.

Sepihak

Namun, menurut Iffah lebih lanjut, munculnya keluarga miskin baru akibat pernikahan di usia muda adalah klaim sepihak dan cenderung menggunakan data statistik untuk mengangkat opini yang dikehendaki. “Otak-atik data agar bisa menstigma pernikahan usia muda,” terangnya.

Padahal seperti diketahui, keluarga miskin hari ini bukan hanya pada pasangan usia muda. “Pasangan usia dewasa juga mengalami kemiskinan, karena ini problem hampir 50 persen penduduk negeri ini,” sebutnya.

Lebih jauh, kata Iffah, mempersoalkan pernikahan usia muda, berawal dari membebeknya negeri ini pada rekomendasi lembaga dunia, semisal PBB dan Unicef yang memang menstigma salah satu bentuk ibadah mulia dan suci tersebut.

Terlebih UN Woman, lembaga khusus di PBB yang berkaitan dengan isu-isu perempuan. “Pernikahan usia muda sebagai sumber problem dan dianggap memberangus hak anak untuk menikmati kebebasan dan hak perempuan untuk berdaya versi kapitalis, yakni bekerja menghasilkan materi dan mengokohkan rantai produksi yang memperbanyak keuntungan pemilik modal/kapitalis,” urainya.

Kata lain, dengan menunda usia pernikahan, kaum kapitalis global akan mendapat lebih banyak keuntungan materialistik dari khususnya kaum perempuan.

“Mereka didorong menyerbu dunia kerja dan diimingi kebahagiaan. Mereka juga menanamkan racun bahwa kehidupan rumah tangga adalah belenggu kebebasan dan pemberdayaan perempuan,” tambahnya.

Objektif

Makanya dalam hal menilai pernikahan usia muda haruslah objektif. “Pernikahan usia muda mestinya direspon objektif,” tutur Iffah.

Sebutlah data yang justru menunjukkan bahwa permasalahan yang timbul pasca pernikahan usia muda, didominasi oleh dampak dari pergaulan bebas dan salah satunya adalah hamil di luar nikah. Sebab pula banyak di kalangan masyarakat belum memahami ilmu berumah tangga sehingga memunculkan masalah sosial baru. “Maka solusinya adalah menutup segala pintu pergaulan bebas,” tandasnya.

Namun, lanjut Iffah, apabila melaksanakan pernikahan di usia muda dikarenakan faktor ingin menghindari zina atau bahkan untuk memperbanyak keturunan, maka harus diarahkan bahwa menikah itu membutuhkan persiapan ilmu dan mental.

Maka itu, ia mengimbau, agar pemerintah mempersiapkan para remaja Muslimah secara lebih awal untuk benar-benar siap dengan kehidupan rumah tangga, lebih-lebih menjadi seorang ibu.

Tak hanya itu, negara harus pula mempersiapkan terbukanya lapangan kerja layak, berikut upah yang layak pula bagi para calon kepala rumah tangga. “Bagaimana caranya? Meninggalkan ekonomi kapitalis dan mengadopsi ekonomi Islam,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: