Aktivis ‘98: Mahasiswa Harus Terus Bergerak dan Kritik Rezim

Mediaumat.news – Terkait 10 mahasiswa Universitas Sebelas Maret (UNS) ditangkap polisi karena membentangkan poster berisi kritik ‘Pak, Tolong Benahi KPK’ terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sedang melakukan kunjungan ke UNS, Aktivis ‘98 Agung Wisnuwardana mengatakan mahasiswa harus terus bergerak dan kritik rezim.

“Saya sangat senang apabila mahasiswa terus bergerak dan menyuarakan ini, karena kekuatan ada di mahasiswa salah satunya, kalau mahasiswa diam ada persoalan,” ujarnya dalam acara Insight #77: Ekspresi Tapi Direpresi. Gema Edukasi dan Reformasi Dikorupsi? Senin (20/9/2021) di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data (PKAD).

Menurut Agung, kondisi sekarang ini boleh dikata, elite partai politik, rezim penguasa dan DPR sudah hampir selesai terkonsolidasi di dalam barisan kekuasaan. Dan kritik-kritik terhadap rezim dianggap sebuah permusuhan atau sebuah sikap yang mengganggu kekuasaan. Sehingga sekarang ini tantangannya ada di konsolidasi masyarakat sipil, sejauh mana konsolidasi masyarakat sipil bisa untuk melakukan perlawanan yang seimbang terhadap konsolidasi para elite ini.

“Nah, konsolidasi kekuatan elite ini yang sudah selesai, dihadapkan pada konsolidasi kekuatan masyarakat sipil,” ucapnya.

Agung melihat, beberapa saat lalu basis perlawanan terhadap rezim terkonsolidasi dalam basis HRS, karena memang memerlukan keberanian untuk melakukan perlawanan terhadap kekuasaan rezim yang sangat otoriter ini. Dan HRS dianggap memiliki keberanian itu.

Agung menilai, saat ini konsolidasi masyarakat sipil mengalami persoalan dan belum selesai. Hal ini berbeda dengan kondisi pada tahun 1998 yang konsolidasi masyarakat sipilnya sangat kuat. Pada tahun 1998 kaum intelektual kampus yaitu mahasiswa, dan petinggi kampus (rektor dan dosen) bergabung menjadi satu kekuatan, tapi kondisi sekarang, kata Agung, banyak rektor dan petinggi kampus yang bermasalah. Hingga banyak yang menyebut mereka adalah intelektual lipstick karena takut kekuasaan, dan mementingkan karier atau jabatan.

“Jadi enggak terjadi itu bagaimana rektor itu punya nilai kritis, rektor malah juga mencari kekuasaan, kemudian dosen-dosen yang kritis enggak ada. Akhirnya yang tersisa anak-anak yang sekarang menjadi mahasiswa, ini menjadi kekuatan,” sindir Agung.

Agung juga merasa senang sekali beberapa waktu yang lalu ada demo teman-teman di Ambon, demo teman-teman di Jakarta, kemudian ada ungkapan “Jokowi The King of Lips Service” dan lain sebagainya. “Itu bentuk-bentuk perlawanan,” pungkasnya.[] Agung Sumartono

Share artikel ini: