Aktivis ’98: Ciri Otoritarian dan Kezaliman dalam Buku How Democracies Die Mirip Rezim
Mediaumat.news – Aktivis ’98 Agung Wisnuwardana menyebut ciri-ciri keotoritarian dan kezaliman yang tampak dalam buku How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt mirip pada rezim saat ini.
“Hampir semua ciri di buku tersebut saya lihat tampak terjadi pada rezim saat ini. Sehingga saya boleh menduga bahwa rezim hari ini cenderung pada otokrasi dan menunjukkan sikap-sikap keotoritariannya dan menunjukkan sifat kezalimannya,” ungkapnya kepada Mediaumat.news, Selasa (24/11/2020).
Ia menilai rezim sangat mudah mengubah undang-undang dan undang-undang itu diset untuk pro pada pengusaha dan tidak pro pada rakyat. “Seperti UU Omnibus Law dan UU Minerba. Ini kan menunjukkan hal itu,” ujarnya.
Selain itu, rezim juga mendeligitimasi oposisi. Menurutnya, sangat jelas terlihat oposisi dianggap sebagai anti Pancasila, anti NKRI, mengganggu persatuan, dibuli habis-habisan dan dianggap tidak sesuai dengan ideologi negara.
“Rezim begitu toleran terhadap aksi kekerasan dengan menggunakan kekuatan paramiliter. Kita tahu ada beberapa ormas yang diduga dikendalikan oleh rezim hari ini untuk melakukan tindakan-tindakan kekerasan. Bahkan tidak hanya itu, BIN, TNI dan Polri diduga dimanfaatkan oleh rezim hari ini untuk melakukan tindakan-tindakan yang cenderung untuk melakukan intimidasi kepada rakyat,” terangnya.
Lebih lanjut, rezim membungkam siapa saja yang mengkritiknya. Menurutnya, UU ITE cenderung akhirnya digunakan rezim untuk menjerat mereka yang kritis pada penguasa.
Menurutnya, buku tersebut menggambarkan empat hal yang menyebabkan demokrasi itu akan mati.
Pertama, ia melihat lemahnya komitmen terhadap sendi-sendi demokrasi. “Parameternya adalah apakah mereka suka mengubah UU? Apakah mereka melarang organisasi tertentu? Apakah mereka membatasi hak-hak politik warga negara? Kalau ciri-ciri parameter itu ada, maka itu menunjukkan bahwa demokrasi akan mati dan berganti menjadi otokrasi,” ujarnya.
Kedua, menurutnya ada penolakan terhadap legitimasi oposisi. “Parameternya adalah apakah mereka menyematkan lawan politik itu dengan sebutan-sebutan subversif, mengancam asas ideologi negara, kemudian mengganggu persatuan negara, dan lain sebagainya. Bahasa-bahasa terhadap delegitimasi dari oposisi,” ungkapnya.
Ketiga, ia menilai demokrasi akan mati ketika ada toleransi terhadap aksi kekerasan. “Parameternya adalah apakah mereka memiliki hubungan dengan organisasi paramiliter yang cenderung menggunakan kekerasan dan main hakim sendiri. Istilahnya dia menggambarkan bahwa ketika kekuasaan itu memiliki hubungan dengan organisasi paramiliter dan organisasi paramiliter tersebut kemudian dimainkan untuk main hakim sendiri dan melakukan kekerasan, misalnya membuli oposisi. Ini yang menunjukkan bahwa demokrasi itu akan mati,” bebernya.
Keempat, menurutnya ada kesiapan untuk membungkam kebebasan sipil. “Parameternya mereka mendukung membuat UU yang membatasi kebebasan sipil terutama hak-hak politik dan menyampaikan pendapat. Intinya anti kritiklah. Orang-orang yang mengkritik kemudian dijerat dengan UU, kemudian dikriminalisasi,” jelasnya.
Dalam buku tersebut juga menambahkan ciri yang lain yaitu menangkap wasit, menyingkirkan pemain dan mengubah aturan. Menurutnya, ketika ciri-ciri ini semakin menguat, maka itu menunjukkan bahwa demokrasi itu akan menuju pada kematiannya dan berganti menjadi negara otokrasi.
“Jadi, menurut saya buku ini menarik sebuah wacana untuk mendapatkan gambaran bagaimana dinamika demokrasi di berbagai negara terutama di negara kampiunnya demokrasi yaitu Amerika dan berbagai negara lain yang ada kecenderungan bahwa demokrasi itu menuju kematiannya berganti dengan otokrasi atau rezim otoriter,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it