Aksi Peduli Rohingya: Liputan Perjalanan Kafilah Al-Ghuraba

Mediaumat.news – Jumat, 8 September 2017, Magelang menjadi saksi bahwa  umat Islam itu benar-benar satu tubuh. Derita muslim Rohingya adalah derita umat Islam sedunia. Sakit yang diderita saudaranya, telah terasa menjalar sampai jauh, termasuk ke wilayah Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Undangan umum dari panitia aksi kepada seluruh kaum muslimin, di sambut dengan penuh keseriusan. Ratusan ormas dan laskar menyatakan dirinya untuk terlibat dalam aksi solidaritas ini.

Al-Ghuraba Yogyakarta, sebagai wadah pejuang syari’ah, yang dirintis pasca 212, memandang penting keterlibatan dalam aksi super damai tersebut. Sekalipun juga mengetahui bahwa tindakan ini tidak akan menyelesaikan dengan tuntas masalah tersebut.

Ihsan Abdusyari’ Reksonegoro, selaku ketua dewan pembina, memberikan amanat khusus untuk memberikan dukungan optimal. Tujuan utama aksi ini adalah menguatkan mental muslim Rohingya, bahwa mereka tidak sendirian. Ini sangat penting untuk perjuangan jangka panjang.

Nasrul Hakim, selaku pimpinan al-Ghuraba, kemudian memberikan instruksi agar semua kader bisa diturunkan, namun tidak boleh meninggalkan kewajiban lain yang tidak bisa digantikan. Oleh karena itu 60 orang kader pilihan siap diberangkatkan.

Lurah kafilah, Haryanto Abdulhadi kemudian membagi menjadi 3 regu. Selain untuk memudahkan pengaturan d lapangan dan kemudahan untuk saling mengenali maka diputuskan mengenakan pakaian yang khas. Persiapan dilakukan dengan cepat, mengingat terbatasnya waktu.

Sebelum berangkat, sekitar pukul 08.00, pihak kepolisian, dalam hal ini Polda DIY, telah mendatangi titik kumpul pertama. Pihak polisi memberitahu bahwa perbatasan provinsi telah dijaga ketat, sehingga peserta tidak bisa masuk teritorial provinsi lain. Peserta dari arah Klaten telah diarahkan untuk kembali, maka jika rombongan ini tetap berangkat, tidak akan bisa masuk ke Jawa Tengah, karena akan dihentikan di perbatasan. Untuk itu sebaiknya mengurungkan niat keberangkatan. Selain itu dihimbau untuk tidak membuat keributan dengan memaksakan kehendak untuk terus menuju lokasi aksi di Masjid an-Nuur Magelang. Gedhe Mertasana, selaku jagabaya yang bertanggung jawab atas keamanan kafilah menjamin bahwa kafilah ini tidak akan membuat keributan, karena berupa aksi damai, aksi solidaritas, wujud kepedulian terhadap saudaranya yang sedang ditimpa musibah.

Ihsan Abdusyari’ Reksonegoro, yang sedang meninjau persiapan pemberangkatan di titik utama, menyatakan bahwa aksi ini merupakan bagian dari syiar Islam, yang harapannya berimbas secara regional, terhadap pemerintah Myanmar yang telah membiarkan tindakan biadab bisa terjadi dengan mudah. Untuk itu, perjalanan menuju perbatasan saja sudah mencukupi untuk syiar ini. Polda kemudian menyatakan akan melindungi peserta aksi di lingkup wilayahnya, jika terjadi gangguan dari ormas lain.

Regu utama setelah persiapan selesai kemudian bergerak menuju lokasi aksi damai di Masjid an-Nuur Magelang, dipimpin oleh Haryanto Abdulhadi. Kemudian menyusul di belakangnya, berangkat dari titik kumpul yang berbeda, bergabung regu kedua dan ketiga. Setelah lengkap, dilanjutkan dengan mengibarkan panji hitam Rasulullah SAW. Bendera persatuan umat Islam, simbol yang mudah dipahami oleh semua muslim yang sedang ditimpa musibah. Inilah bendera harapan, cahaya putih di tengah kegelapan.

Jalur yang dipilih adalah jalan alternatif menuju Magelang, melewati Dekso, salah satu basis perjuangan Diponegoro. Sebelumnya melewati titik nol kota Yogyakarta sebagai simbol asal kafilah sekaligus untuk memanaskan suasana kota perjuangan ini.

Setelah melalui jalur berkelok, kafilah terhenti d Kalibawang karena adanya penjagaan perbatasan oleh belasan polisi d jembatan. Kafilah diistirahatkan oleh kepala kafilah, namun mengirimkan personel untuk mencari jalan alternatif yang lain.

Tidak begitu lama, menyusul beberapa kafilah lain, dari berbagai laskar dan ormas, yang telah mengalami hal serupa beberapa kali. Langkah negosiasi dengan polisi di pilih, namun  mengalami jalan buntu. Polisi bersikeras tidak memberikan izin melintasi perbatasan.

Pertemuan darurat semua pimpinan Ormas dan Laskar yang ada di Kalibawang saat itu dilakukan untuk mencari solusi penghadangan ini. Akhirnya disepakati untuk kembali ke jalur utama. Maka semua kafilah bergerak kembali, masuk ke daerah Muntilan. Hanya saja, kafilah kembali tertahan oleh belasan polisi, di jarak kurang lebih 2-3 km dari lokasi aksi di Masjid an-Nuur.

Berita gembira kemudian datang, bahwa sudah ada jalan ‘super alternatif’ karena merupakan jembatan ‘sesek’ dari bambu yang hanya bisa dilewati sepeda motor. Setelah melewati jembatan tersebut, maka titik terang sudah benar-benar muncul, bahwa akan sampai lokasi aksi.

Kafilah terpisah, yang depan sudah berhasil melewati ‘barier’ benteng pertahanan alam polisi, sebagian tertahan karena jalan yang macet, karena mobil tidak bisa maju terhalang portal serta jalan kampung yang sempit. Saat itu sudah masuk waktu dhuhur, sehingga diputuskan untuk sholat jum’at di masjid terdekat.

Rombongan depan yang telah menunggu beberapa saat, kemudian memutuskan untuk segera menuju lokasi aksi.

Sekitar 500 m dari lokasi aksi, ada barikade lagi dari polisi. Kafilah kemudian didatangi panitia aksi yang menyatakan bahwa bendera tidak boleh di bawa masuk, sehingga harus ditinggal. Untuk itu, semua bendera yang ada kemudian dilepas dan dimasukkan ke dalam tas.

Polisi kemudian menggeledah peserta, satu persatu, baik badan maupun tas. Polisi kemudian menyita beberapa bendera tauhid yang berwarna hitam, yang nanti bisa diambil ketika pulang. Hanya saja ketika pulang, pos tersebut telah kosong. Polisi mungkin perlu bukti bahwa mereka sudah melakukan pengecekan.

Setelah mengikuti sholat Jum’at dan beristirahat sebentar, maka rombongan pertama berjalan kaki menuju masjid an-Nuur.

Pesan kekuatan umat harus nampak, maka diputuskan untuk membentuk barisan di tengah jalan.

Sayang sekali, aksi yang direncanakan sampai ashar, tidak bisa dilakukan, sehingga setelah sampai d gerbang masjid, hanya mengikuti do’a terakhir. Tampak dominasi kibaran panji hitam di area aksi, menunjukkan kerinduan persatuan umat. Persatuan inilah yang akan menyelesaikan berbagai problem umat, di mana salah satunya adalah penderitaan muslim Rohingya.

Setelah aksi ditutup, ribuan peserta keluar dari halaman masjid. Kami, kemudian masuk ke dalam halaman masjid untuk dokumentasi kegiatan, kemudian kembali berbaris menuju lokasi parkir, sambil membawa bendera tauhid.

Sebagai identitas ormas, bendera al-Ghuraba yang terbuat dari kain katun warna hitam yang di tengahnya di jahit gambar lingkaran warna oranye, serta bendera khusus, Reksoyudho, yang terinspirasi dari bendera KK Tunggul Wulung milik Kraton Yogyakarya.

Barisan kemudian memanjang, karena peserta aksi yang lain segera bergabung. Ini terjadi secara alamiah. Barisan bertakbir dan bertahlil di sepanjang jalan, menunjukkan semangat perjuangan yang tidak akan mudah luntur.

Barisan menjadi semakin heboh, dengan bergabungnya kafilah al-Ghuraba yang tadi tertinggal, yang sedang berjalan berlawanan arah. Bendera yang tadinya diarak tanpa tiang, kemudian dipasang di tiang bambu.

Rombongan kedua bisa masuk ke lokasi aksi, setelah di jemput oleh Gedhe Mertasana, yang dipandu oleh panitia penyelenggara dari FPI. Inilah tolong menolong dalam kebaikan, perekat ukhuwah.

Setelah beristirahat sejenak, maka perjalanan pulang dimulai. Membentuk barisan panjang, karena bergabung beberapa ormas dan laskar yang berasal dari Yogyakarta.

Menempuh jalan Magelang, bendera tauhid kembali berkibar. Tujuannya adalah Masjid Gedhe Kauman, untuk melakukan sholat ashar. Setelah itu, untuk mempererat ukhuwah dengan ormas dan laskar lain, kami berfoto bersama.

Pelajaran yang kami petik hari itu adalah sangat mudah mempersatukan ormas dan laskar, walaupun sebelumnya tidak saling kenal, tetapi langsung akrab dan melebur. Jadi, ke depan tidak perlu dirisaukan banyaknya gerakan, karena nanti Islamlah yang akan menyatukan. Kedua, jika rencana di ‘running’ serius, maka akan ada jalan keluar.

Pada kesempatan lain, Usman Suryanegara, penanggung jawab kaderisasi menyatakan bahwa jumlah 60 personel yang terlibat masih belum mampu menggetarkan pelaku kedzaliman, secara kasar minim 1.000 personel baru bisa berpengaruh. Sedangkan Aslan Kertajaya penanggung jawab bagian pendukung pada aksi ini, yang berseragam surjan, menilai organisasi dan perencanaan masih perlu diperhatikan serius, karena tantangan ke depan akan lebih berat.

Dakwah dengan gembira telah kami laksanakan sesuai dengan kemampuan. Pengorbanan juga melatih sekaligus meningkatkan kesabaran. Dua motor mengalami ban bocor, kafilah nyaris tanpa dukungan logistik. Namun demikian, inilah yang mampu kami persembahkan untuk saudara kami di Rohingya.[]

Share artikel ini: