Akankah Allah Menerima Puasa dan Qiyamul Lail Kita?

Allah SWT telah menjadikan terkait Syariat-Nya timbangan yang dengannya urusan kita ditimbang. Allah lebih mengutamakan amalan wajib atas amalan sunnah, sehingga para ulama mengatakan: “Barangsiapa yang mininggalkan amalan sunnah sebab disibukkan oleh amalan wajib, maka ia dimaafkan. Dan barangsiapa yang meninggalkan amalan wajib sebab disibukkan oleh amalan sunnah, maka ia tertipu.” Telah diriwayatkan dari sahabat mulia, Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata: “Allah subhanahu wa ta’ala tidak menerima suatu amal sunat sebelum amal wajib dilaksanakan.”
Allah telah mengutamakan perkara wajib yang waktunya terbatas atas perkara wajib yang waktunya luas, dan Allah telah memberikan skala prioritas di antara perkara wajib tersebut jika terjadi tumpang tindih. Allah telah mengizinkan orang yang sibuk menyelamatkan nyawa seorang tak berdosa, dengan menunda shalatnya karena terpaksa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat menunda shalat ketika pengepungan Hudaybiyyah karena serangan kaum kafir terhadap mereka semakin intensif. Oleh karena itu, seorang Muslim wajib memperhitungkan amal saleh yang dikerjakannya dan mengaturnya sesuai dengan apa yang diperintahkan syariat, bukan berdasarkan apa yang disukainya.
Sebaliknya, dosa dan pelanggaran juga memiliki tingkatan; di antaranya ada dosa-dosa kecil yang dapat dihapus dengan wudhu dan shalat, di antaranya juga ada dosa-dosa besar yang mencelakakan dan membinasakan. Bahkan ada di antara dosa-dosa itu yang tidak dapat dihapus dengan melakukan amalan-amalan kebaikan, dan menghalangi terkabulnya doa dari pelakunya. Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang bersabda:
«إِنَّ اللهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّباً… ثُمَّ ذَكَرَ الرَّجُلَ يُطِيلُ السَّفَرَ أَشْعَثَ أَغْبَرَ يَمُدُّ يَدَيْهِ إِلَى السَّمَاءِ يَا رَبِّ يَا رَبِّ وَمَطْعَمُهُ حَرَامٌ وَمَشْرَبُهُ حَرَامٌ وَمَلْبَسُهُ حَرَامٌ وَغُذِيَ بِالْحَرَامِ فَأَنَّى يُسْتَجَابُ لِذَلِكَ؟!»
“Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. … Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan seseorang yang melakukan perjalanan panjang dalam keadaan dirinya kusut dan kotor, dia menengadahkan kedua tangannya ke langit seraya berdoa: “Wahai Rabb-ku, wahai Rabb-ku,” namun makanannya haram, minumannya haram dan pakaiannya haram, serta kenyang dengan sesuatu yang haram, lalu bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim).
Terkait dengan dosa meninggalkan shalat, Imam Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya dari hadits Buraidah yang berkata “Bersegeralah untuk melakukan shalat Ashar, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ تَرَكَ صَلَاةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ»
“Barangsiapa yang meninggalkan shalat ashar, maka sia-sialah amalannya.”
Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«أَوَّلُ مَا يُحَاسَبُ بِهِ الْعَبْدُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ الصَّلَاةُ، فَإِنْ صَلُحَتْ صَلُحَ لَهُ سَائِرُ عَمَلِهِ، وَإِنْ فَسَدَتْ فَسَدَ سَائِرُ عَمَلِهِ»
“Amalan pertama seorang hamba yang akan diperhitungkan (dihisab) di hari kiamat adalah shalat. Jika baik shalatnya, baik pula seluruh amalannya. Jika rusak shalatnya, rusak pula seluruh amalannya.” (HR. Ath-Thabarani).
Di antara dosa besar yang dikhawatirkan akan menghapus pahala amal kebaikannya, sebanyak apapun, adalah dosa meninggalkan salah satu kewajiban yang paling besar, yaitu berjuang menegakkan syariat Allah dengan mengangkat seorang imam yang dapat mempersatukan umat, sehingga terbentuklah masyarakat yang memiliki seorang imam.
Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَنْ خَلَعَ يَداً مِنْ طَاعَةٍ لَقِيَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَا حُجَّةَ لَهُ، وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِي عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً»
“Barang siapa yang melepaskan tangan dari ketaatan, maka ia akan menjumpai Allah pada hari kiamat dalam keadaan tidak memiliki hujjah, dan barang siapa yang mati, sedangkan di pundaknya tidak terdapat baiat, maka ia telah mati seperti kematian jahiliah.”
Dalam hadits tersebut terdapat peringatan besar agar tidak melanggar suatu kewajiban besar, yaitu berkumpulnya seluruh umat di belakang seorang Imam secara berjamaah. Meninggalkan baiat kepada Imam setelah baiat itu telah ditetapkan dan sah dilakukan, adalah dosa yang tidak menyisakan alasan bagi pelakunya di sisi Allah untuk menyelamatkannya pada hari kiamat, kecuali jika Allah merahmatinya. Perintah untuk menaati seorang imam dan membaiatnya merupakan perintah tersirat untuk menegakkannya. Sebab, jika kewajiban yang dimaksud rusak karena tidak menaatinya dan melepaskan tangan dari menaatinya, maka kewajiban tersebut tidak ada sama sekali tanpa keberadaannya. Barangsiapa meninggalkan kewajiban menegakkan Imam di tengah ketiadaannya, lalu meninggal dunia dalam kemaksiatan itu, maka kematiannya adalah seperti kematian jahiliah, yaitu suatu perumpamaan bagi dosa besar.
Di antara dosa-dosa yang menghilangkan pahala amal saleh adalah menelantarkan orang-orang terzalimi dan tidak memberikan pertolongan apapun kepada mereka. Disebutkan dalam atsar yang oleh sebagian ulama dianggap hasan (baik): “Janganlah seorang pun dari kalian berdiam diri dalam situasi di mana seseorang dibunuh secara tidak adil, karena kutukan itu turun kepada orang-orang yang hadir ketika mereka tidak membelanya. Dan janganlah seorang pun dari kalian berdiam diri dalam situasi di mana seseorang dipukuli secara tidak adil, karena kutukan itu turun kepada orang-orang yang hadir ketika mereka tidak membelanya.”
Imam Ahmad dan Abu Dawud meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah dan Abu Thalhah bin Sahl al-Anshari, bahwa mereka berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«مَا مِنِ امْرِئٍ يَخْذُلُ امْرَأً مُسْلِماً فِي مَوْضِعٍ تُنْتَهَكُ فِيهِ حُرْمَتُهُ وَيُنْتَقَصُ فِيهِ مِنْ عِرْضِهِ إِلَّا خَذَلَهُ اللهُ فِي مَوْطِنٍ يُحِبُّ فِيهِ نُصْرَتَهُ، وَمَا مِنِ امْرِئٍ يَنْصُرُ مُسْلِماً فِي مَوْضِعٍ يُنْتَقَصُ فِيهِ مِنْ عِرْضِهِ وَيُنْتَهَكُ فِيهِ مِنْ حُرْمَتِهِ إِلَّا نَصَرَهُ اللهُ فِي مَوْطِنٍ يُحِبُّ نُصْرَتَهُ»
“Tidaklah seseorang yang meninggalkan (tidak membantu) seorang Muslim di tempat yang mana kehormatannya dicabul serta maruahnya dihina melainkan Allah akan meninggalkannya (tidak membantunya) di tempat yang dia ingin dibantunya. Dan tidak ada seseorang pun yang membantu seorang Muslim di tempat yang mana maruahnya dihina serta kehormatannya dicabul melainkan Allah akan membantunya di tempat yang dia ingin untuk dibantunya.”
Dalam Shahih Bukhari dan Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda::
«الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ، وَمَنْ كَانَ فِي حَاجَةِ أَخِيهِ كَانَ اللهُ فِي حَاجَتِهِ، وَمَنْ فَرَّجَ عَنْ مُسْلِمٍ كُرْبَةً فَرَّجَ اللهُ عَنْهُ كُرْبَةً مِنْ كُرُبَاتِ يَوْمِ الْقِيَامَةِ، وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِماً سَتَرَهُ اللهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ»
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim lainnya, dia tidak menzaliminya dan tidak membiarkannya disakiti. Barang siapa yang membantu kebutuhan saudaranya maka Allah akan membantu kebutuhannya. Barang siapa yang menghilangkan satu kesusahan seorang muslim, maka Allah menghilangkan satu kesusahan baginya dari kesusahan-kesusahan hari kiamat. Barang siapa yang menutupi (aib) seorang muslim maka Allah akan menutupi (aibnya) pada hari kiamat.”
Melihat situasi kita saat ini, kita harus memperingatkan seluruh kaum Muslim agar tidak mengabaikan kewajiban besar seperti mendirikan negara Islam yang komprehensif dan membantu kaum Muslim yang darahnya sedang tertumpah dan yang sedang ditindas di seluruh belahan dunia. Lalu, kita merasa cukup dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang mudah dilakukan terhadap badan dan harta, serta menipu diri sendiri bahwa dengan melakukannya kita akan meraih derajat tertinggi dan menjadi lebih dekat kepada Allah. Akankah Allah benar-benar menerima puasa, shalat, dan ibadah kita jika kita telah meninggalkan agama-Nya, hukum-Nya, dan perintah Nabi-Nya untuk meninggalkan pekerjaan demi menegakkan negara-Nya, kecuali orang-orang yang Allah berikan rahmat-Nya? Akankah Allah menerima puasa dan shalat kita sementara kita telah mengecewakan (tidak menolong) saudara-saudara Muslim kita yang tertindas di mana-mana dan merasa cukup dengan doa dan menyaksikan pemandangan pengeboman, pengusiran, dan genosida?
Bukankah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
«رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ، وَرُبَّ قَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ قِيَامِهِ إِلَّا السَّهَرُ»؟
“Banyak orang yang berpuasa namun tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar, dan banyak orang yang shalat namun tidak mendapatkan apa-apa dari shalatnya kecuali menahan rasa kantuk (begadang).”?
Bukankah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memperingatkan kita akan dosa-dosa yang dapat menghilangkan pahala puasa, dengan sabdanya:
«مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ»
”Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan perbuatan yang haram, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minuman.” (HR. Bukhari).
Kepalsuan apakah yang lebih besar daripada merasa puas dengan keadaan kita saat ini, membenarkan kegagalan kita dari menolong kaum Muslim yang tertindas, dan mengabaikan dimulainya kembali kehidupan Islam dengan mendirikan Khilafah Rasyidah?
Kepalsuan apakah yang lebih besar daripada mengutak-atik prioritas kewajiban dan tingkatan larangan, sehingga para ahli teori berteori tentang keasyikan dengan cabang-cabang ilmu daripada prinsip-prinsip ilmu dan keasyikan dengan hal-hal yang sepele daripada yang krusial?
Kepalsuan apakah yang lebih besar daripada menetapkan suatu hukum yang bukan hukum yang telah diturunkan Allah melalui fatwa-fatwa tentang keharusan, tahapan, dan bolehnya penerapan syariat secara berangsur-angsur atau sedikit demi sedikit?
Maka berhati-hatilah wahai seorang Muslim, agar kamu tidak datang pada hari kiamat dalam keadaan bangkrut, tidak memiliki alasan apa pun di sisi Allah, padahal kamu menyangka bahwa kamu telah berbuat kebajikan dan telah menumpuk-numpuk kebaikan.
Wahai umat Islam, marilah kita kembali kepada timbangan syariat Islam, menimbang amal perbuatan kita berdasarkan timbangan tersebut, dan menentukan skala prioritasnya. Semoga Allah menerima amal shaleh kami dan kalian. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. [] Syeikh Adnan Mizyan
Sumber: alraiah.net, 26/3/2025.
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat