Akademisi: UU Kesehatan Tidak Bisa Dilepaskan dari Kepentingan Oligarki
Mediaumat.id- Akademisi Dr. Muhammad Uhaib As’ad menilai RUU Kesehatan yang disahkan menjadi undang-undang pada Selasa (11/7) tidak bisa dilepaskan dari kepentingan oligarki.
“UU Kesehatan ini sulit untuk dilepaskan ada satu kepentingan kekuatan pemilik modal atau oligarki,” ungkapnya dalam acara Perspektif: Kontroversi UU Kesehatan Ditunggangi HTI-FPI atau Oligarki??!! di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data, Sabtu (15/7/2023).
Karena, pada faktanya, jelas Uhaib, memang RUU Kesehatan tersebut tidak mewakili kepentingan publik, yang ada hanyalah mewakili kepentingan aktor, kepentingan-kepentingan politik maupun partai.
“Bisa dilihat yang mengesahkan RUU tersebut ada enam partai di DPR yang notabene merupakan partai-partai yang dekat dengan rezim. Sisanya, satu partai menerima dengan catatan yaitu Nasdem, dan yang menolak adalah Demokrat dan PKS,” terang Uhaib.
Pengesahan yang tiba-tiba tersebut dipandang Uhaib memang terkesan dipaksakan (kemungkinan kejar tayang karena rezim saat ini yang segera berakhir). Padahal, lanjutnya, UU tersebut berkaitan dengan hajat hidup masyarakat Indonesia.
Sebelumnya telah banyak kritikan dan penolakan terhadap UU kesehatan itu, bukan hanya oleh para pakar maupun akademisi, namun juga mendapatkan penolakan dari para tenaga medis bahkan dokter. Termasuk Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang belakangan justru disebut ditunggangi oleh HTI dan FPI. Muhammad Uhaib memandang, narasi menghubung-hubungkan dengan HTI maupun FPI tidak nyambung.
“Saya kok jadi enggak nyambung, bahwa IDI ini ditunggangi oleh HTI dan FPI. Jadi logikanya enggak nyambung. Kenapa lagi dihubung-hubungkan dengan HTI atau FPI, sekalianlah dengan khilafah gitu biar lebih lengkap,” sindir Uhaib.
Selain itu, ia juga memandang, hampir semua produk kebijakan yang dibuat oleh rezim saat ini selalu mengandung cacat hukum atau cacat sosial. Mengandung kontroversi dan bahkan tidak jarang mengandung resistensi dari publik.
Menurutnya, UU kesehatan ini memang penting, bilamana dilahirkan dalam satu proses yang lebih akademik, lebih rasional. “Lagi-lagi, seperti UU yang sudah ada. Kita bisa berkaca dengan UU Cipta Kerja, bagaimana proses pembuatannya, bagaimana revisi UU Minerba. Ada kongkalikong, kepentingan pengusaha, kepentingan kelompok bisnis yang bermain di situ,” timpalnya.
Harusnya pembuatan kebijakan itu melalui yang namanya public policy making process, bukan hanya kepentingan-kepentingan aktor bisnis. “Utamakanlah kepentingan publik karena ini yang bersentuhan langsung adalah rakyat banyak daripada segelintir orang,” pungkasnya.[] Ade Sunandar