Ajengan YRT: Orientasi Mengkaji Islam untuk Tuntaskan Persoalan

Mediaumat.id – Pengajar sekaligus Peneliti Hadits Ajengan Yuana Ryan Tresna, M.Ag. menuturkan, orientasi dari aktivitas mengkaji tsaqafah Islam semestinya untuk menyelesaikan persoalan realitas kehidupan.

“Mengkaji tsaqafah islamiah, mengkaji ilmu-ilmu Islam tadi, itu untuk menyelesaikan realitas kehidupan yang memang dapat diindera dan dapat dirasakan,” ujarnya dalam Fokus Spesial: Mengkaji Tsaqafah Islam, Penting dan Perlu, Ahad (25/9/2022) di kanal YouTube UIY Official.

Artinya, aktivitas mempelajari tsaqafah atau ilmu pengetahuan tentang Islam semestinya menjadi salah satu metode menemukan solusi berkenaan segala permasalahan hidup manusia.

Namun ia menyayangkan ketika melihat tak sedikit lulusan pendidikan tinggi Islam baik dalam maupun luar negeri, termasuk dari Mesir, tempat dirinya sekarang melanjutkan studi ke jenjang S3, belum mampu memberikan kontribusi berikut solusi dari persoalan yang dihadapi umat.

“Ribuan atau bahkan berapa puluh ribu alumni dari Fakultas Syariah, dari Faikultas Ushuluddin, dari Fakultas Dakwah misalnya, tetapi tak kunjung juga memberikan solusi pada segenap persoalan yang dihadapi oleh umat pada hari ini,” terangnya.

Karena itu di dalam kitab Al-Syakhsiyah al-Islamiyyah, karya Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, memberikan gambaran yang menurut Ajengan Yuana penting sekali untuk disampaikan, yakni terkait metode mengkaji dan memahami tsaqafah Islam berikut penerapannya dalam kehidupan.

Pertama, harus mendalam hingga benar-benar memahami hakikatnya. Sehingga menuntut pula pengerahan semua kemampuan dalam aktivitas belajar dimaksud. “Ketika mengkaji tsaqafah islamiah secara mendalam berarti harus mengerahkan semua kemampuan dalam belajar,” tuturnya.

Kedua, Syekh Taqiyuddin mengatakan agar senantiasa meyakini yang dikaji hingga seorang murid beramal dengan ilmu yang didapatkan. “Meyakini apa yang dipelajari sampai ia bisa mengamalkannya,” jelas Ajengan Yuana.

Ketiga, di dalam mempelajari tsaqafah Islam harus praktis diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Maksudnya, tidak didasarkan pada kajian yang sifatnya teoretis. “Beliau (Syekh Taqiyuddin) menyebutnya (sebagai) kajian yang sifatnya doktrin teoritik,” cetusnya, seraya menekankan kembali pentingnya orientasi mengkaji tsaqafah Islam sebagai upaya menyelesaikan problematika kehidupan manusia.

Lebih jauh, sikap berani juga diperlukan untuk menghadapi tantangan politik yang ada. “Secara politik mereka akan menghadapi penentangan dari banyak pihak, termasuk mungkin dari negara,” tandasnya.

Karenanya, tidak semua orang berani mendakwahkan Islam meski telah memahami bahwa Islam diturunkan oleh Allah SWT dengan tujuan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia.

Maka tidak heran, apabila tsaqafah Islam terkesan hanya menarik dibicarakan. “Ada buku-buku (tsaqafah Islam) tetapi tidak menarik untuk diterapkan,” ucapnya prihatin.

Lantaran itu, Ajengan Yuana menyebut, aktivitas mulia mendakwahkan Islam sangat membutuhkan keberanian. “Mereka harus berhadapan dengan politik di tempatnya itu dan ini butuh keberanian,” tandasnya.

Keutamaan Belajar

Ia menyampaikan, di dalam Al-Qur’an banyak disebutkan keutaman hal itu. “Allah meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat,” ucapnya, mengutip QS Al-Mujadilah ayat 11.

Terkait ayat tersebut, di dalam Tafsir Ibnu Abbas pun disampaikan, kedudukan dimaksud jauh melampaui orang beriman tetapi tidak berilmu. “Orang-orang yang berilmu dan beriman itu kedudukannya sangat tinggi sekali,” tegasnya.

Begitu juga di dalam QS az-Zumar, ayat kesembilan yang artinya, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?’

“Ini menunjukkan bahwa memang sesungguhnya tidak sama. Karena ini adalah satu istifham yang tidak mesti dijawab pertanyaan yang mengajak kita untuk berpikir,” urainya.

Bahkan diterangkan di dalam kitab Tadzkiratus Sami’ wal Mutakallim karya Imam Badruddin Ibnu Jamaah yang memiliki nama lengkap Abu Abdullah Badruddin Muhammad bin Ibrahim bin Sa‘dullah bin Jamaah bin Ali bin Jamaah bin Hazim bin Shakhr al-Kinani al-Hamawi asy-Syafii. Beliau menyampaikan, sebaik-baiknya anugerah adalah akal/ilmu, dan seburuk-buruknya musibah adalah kebodohan atau ketidaktahuan.

Oleh karena itu di dalam perkembangannya, untuk membedakan ilmu umum yang bebas nilai dengan ilmu-ilmu yang khusus dari akidah tertentu, dalam beberapa musthalahul hadits, dibedakan antara ilmu dan tsaqafah seperti keterangan di kitab Al-Syakhsiyah al-Islamiyyah.

Cakupannya pun, kutip Ajengan Yuana, terdiri dari tiga kategori. Pertama, akidah. Kedua, sesuatu yang lahir dari akidah. Ketiga, alat untuk memahami ilmu yang lahir dari akidah.

“Akidah, jelas itu yang disebut dengan tauhid,” paparnya, dengan menyebut lebih lanjut seputar ilmu fikih, tafsir maupun hadits termasuk kategori yang lahir atau yang dibangun di atas akidah.

Sedangkan ilmu alat, sambungnya, adalah yang biasa dikenal dengan istilah ushul fiqih, musthalahul hadits, bahasa Arab, dan seterusnya.

Semua itu, kata Ajengan Yuana, hukum mempelajarinya adalah wajib ‘ain bagi kaum Muslim pada kadar tertentu. Pasalnya tidak semua orang harus mutakhasis atau spesialisasi bidang tertentu dimaksud.

Artinya, kaum Muslim hanya diharuskan memahami fikih shalat, taharah (bersuci), misalnya, atau juga fikih muamalah bagi para pedagang Muslim, tetapi tidak harus semuanya menjadi ahli fikih.

“Itu semua ilmu hal (yang diperlukan). Itu wajib ‘ain. Seluruh kaum Muslimin itu wajib mempelajari ilmu tadi, tsaqafah islamiah tersebut yang terkategori ilmu hal,” ujarnya, sebagaimana penjelasan Syekh Zarnuzi di dalam kitab beliau, Ta’limul Muta’alim.

Sedangkan level spesialis, semisal ahli hadits, fikih, tafsir dan yang serupa lainnya, Ajengan Yuana menjelaskan itu masuk kategori wajib kifayah, yakni kewajiban terhadap umat Islam yang bisa gugur bila sudah ada yang melakukannya.

Meski demikian, ia kembali menekankan bahwa selain untuk diterapkan sehingga menjadi solusi problematika kehidupan, tujuan selanjutnya dari aktivitas belajar adalah untuk didakwahkan atau disebarluaskan. “Tujuan dari belajar tentu saja adalah untuk diamalkan dan untuk disebarluaskan,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: