Mediaumat.news – Polemik dinar dirham yang terjadi sejak ditangkapnya penggiat dinar dirham Zaim Saidi mendapat tanggapan dari Ulama dan Peneliti Hadits Ajengan Yuana Ryan Tresna (YRT).
“Dinar dan dirham dalam syariat Islam adalah mata uang negara dengan dasarnya adalah taqrir (persetujuan) Nabi SAW. Taqrir tersebut ditunjukkan dan ditegaskan pula dengan qaul (sabda) Nabi SAW dan juga fi’lu (perbuatan) Nabi SAW,” ujarnya dalam acara Fokus: Dinar Emas, Mungkinkah Kembali? Ahad (14/02/2021) di kanal YouTube Khilafah Channel.
Menurutnya, kalau berbicara tentang penetapan awal, legislasi berkaitan dengan dinar dirham sebagai mata uang dalam Islam adalah taqrir Nabi SAW atas realitas perdagangan yang ada dengan menggunakan dinar Romawi dan dirham Persia. Kemudian ditegaskan lagi dalam perbuatan dan juga di dalam sabda Nabi SAW. Itu menunjukkan bahwa mata uang dinar dan dirham adalah mata uang Islam.
Ia mengatakan, dinar dirham itu telah dikenal oleh orang Arab sebelum Islam, khususnya dalam dunia perdagangan. Ketika orang Arab Quraisy pulang dari Syam, mereka membawa dinar emas dari Romawi. Dan ketika pulang dari Irak mereka membawa dirham perak dari Persia.
“Jadi yang menggunakan mata uang dinar itu awalnya adalah Romawi, sedangkan yang menggunakan dirham perak itu awalnya adalah Persia. Dan itu sudah terjadi jauh sebelum Islam datang. Namun Begitu Islam datang Nabi mengakui transaksi tersebut,” jelasnya.
Berkaitan dengan apakah negara wajib menggunakan mata uang dinar dirham, Ajengan YRT menyebut dasarnya adalah karena itu dilakukan secara terus menerus. Artinya Nabi SAW sejak awal hingga wafatnya tidak memberikan toleransi ada standar mata uang lain selain dinar dan dirham.
“Beda kalau masalah mencetak, hukum asal mencetak uang itu asalnya mubah, yakni boleh atau tidak wajib. Jadi negara dalam Islam itu boleh mencetak, boleh tidak, sebenarnya,” ucapnya.
Ia menilai, hukum asal mencetak uang ini yang awalnya mubah bisa menjadi wajib atau haram. Bisa menjadi wajib apabila dalam rangka menjaga perekonomian suatu negara dan dalam rangka melindungi dari musuh dalam konteks perang dagang.
“Mencetak mata uang selain dinar dan dirham bisa menjadi haram apabila dikaitkan dengan mata uang asing. Sebagaimana Irak yang mata uangnya dikaitkan dengan poundsterling, maka itu akan dikontrol oleh Inggris.”
Ia mengingatkan apabila negara mencetak uang, maka wajib berupa dinar dan dirham syar’i dan tidak boleh negara mencetak mata uang lainnya. Namun boleh negara mencetak mata uang kertas atau logam lain yang dijamin oleh emas dan perak.[] Agung Sumartono