Ahmadiyah Bukan Perbedaan, Namun Penyimpangan

Oleh: M. Arifin (Tabayyun Center)

Ahmadiyah (atau Qadiyaniyah) adalah kelompok yang didirikan Mirza Ghulam Ahmad 1889 di Qadiyan, India. Ahmadiyah mempunyai akidah bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Imam Mahdi, Nabi Isa as., mujaddid (pembaru), dan seorang nabi yang menerima wahyu. Sebaliknya umat Islam berkeyakinan bahwa Imam Mahdi dan Nabi Isa as. belum turun ke dunia. Jadi Mirza Ghulam Ahmad bukan Imam Mahdi dan bukan pula Nabi Isa as. Umat Islam berkeyakinan Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi palsu dan bukan mujaddid.

Pendapat Ahmadiyah bahwa ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad saw. tidak termasuk dalam perbedaan (ikhtilaf) yang dibolehkan, melainkan termasuk pendapat yang sesat atau menyimpang. Sebab, pendapat ini telah menyalahi nash yang qath’i tsubut dan qath’i dalalah, bahwa tidak ada akan nabi lagi setelah Nabi Muhammad saw. Nash itu adalah firman Allah SWT

مَا كَانَ مُحَمَّدٌ أَبَا أَحَدٍ مِنْ رِجَالِكُمْ وَلَكِنْ رَسُولَ اللَّهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّينَ

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kalian, tetapi Rasulullah dan penutup para nabi (QS al-Ahzab [33]: 40).

Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan tegas, “Ayat ini menunjukkan bahwa tak ada nabi lagi sesudah beliau. Jika tak ada nabi sesudah beliau, apalagi rasul sesudah beliau.” (Tafsir Ibnu Katsir, III/494).

Namun, Ahmadiyah menakwilkan ayat tersebut dengan berbagai hujjah yang curang dan manipulatif. Menurut mereka makna khatam[un] nabiyyin bukan dalam arti akhir[un] nabiyyin (nabi yang paling akhir), tetapi afdhalu nabiyyin (nabi yang paling utama). Implikasinya, masih akan nabi lagi setelah Nabi Muhammad saw., hanya saja tidak seutama Nabi Muhammad saw. (M. Syuwaiki, Bara’ah al-Millah Al-Islamiyah, hlm. 9).

Jelas takwil ini hanya mengada-ada dan batil karena bertentangan dengan makna bahasa Arab dari khatam. Ibnu Manzhur pengarang Kamus Lisan al-‘Arab berkata bahwa khitam al-qawm artinya adalah akhiruhum. Jadi kata khatam artinya adalah yang terakhir (Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, XII/164). Al-Fairuz Abadi pengarang Kamus Al-Muhith juga menyatakan, arti khatam adalah akhir (yang terakhir). Jadi ungkapan akhir al-qawm sama maknanya dengan khatam al-qawm (Al-Fairuz Abadi, Al-Muhith, 1/1420).

Apalagi ayat di atas diperjelas dengan hadis-hadis Nabi saw. yang mencapai derajat mutawatir, bahwa tak akan nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw. Para ulama menetapkan bahwa hadis “la nabiyya ba’di” adalah hadis mutawatir. Ini ditegaskan oleh banyak ulama seperti: (1) Imam al-Qurthubi ketika menafsirkan QS al-Kahfi: 77; (2) Imam Ibnu Katsir ketika menafsirkan QS al-Ahzab: 40; (3) Imam al-Baghdadi dalam kitabnya, Ushuluddin, hlm. 163; (4) Imam as-Suyuthi dalam kitabnya, Qathf al-Azhar al-Mutanatsirah, hlm. 281; (4) Imam Al-Katani dalam kitab Nazham al-Mutanatsir fi al-Hadits al-Mutawatir, hlm. 208; (5) Imam Az-Zubaidi dalam kitabnya, Luqath al-La`ali Al-Mutanatsirah, dan lain-lain (Dikutip oleh M. Syuwaiki, Bara’ah al-Millah Al-Islamiyah, hlm. 23).

Di antara hadis “la nabiyya ba’di” tersebut adalah sabda Nabi saw.:

كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمْ اْلأَنْبِيَاءُ كُلَّماَ هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌ وَأَنَّهُ لاَ نَبِيَّ بَعْدِيْ وَسَيَكُوْنُ خُلَفَاءَ فَيَكْثَرُوْنَ

Dulu Bani Israil selalu diurus oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan nabi yang lain. Sesungguhnya tak ada nabi sesudahku. Yang akan ada adalah para khalifah; jumlah mereka akan banyak (HR Muslim).

Jadi, pemahaman Ahmadiyah bahwa akan nabi lagi sesudah Nabi Muhammad saw. telah menyalahi nash al-Quran yang qath’i, juga hadis-hadis Nabi saw. yang mutawatir. Karena itu, jelas pendapat Ahmadiyah tak termasuk dalam perbedaan pendapat yang dibolehkan.

Selain itu, Ahmadiyah juga telah mengingkari apa yang disebut ma’lum[un] min al-din bi adh-dharurah, yaitu kewajiban jihad. Dalam kitab Majmu’ah Isytiharat Mirza Ghulam Ahmad berkata, “Wa al-maqshud min ba’tsi wa ba’tsi ‘Isa alayh as-salam wahid[un] wa huwa ishlah al-akhlaqi wa man’i al-jihad.” (Tujuan dari pengutusan aku dan Isa as. adalah satu, yaitu memperbaiki akhlak dan melarang jihad) (Mirza Ghulam Ahmad, Majmu’ah Isytiharat, 1/303).

Dengan ajaran yang menghapuskan jihad ini, Ahmadiyah jelas telah murtad dan keluar dari golongan kaum Muslim. Sebab, kewajiban jihad merupakan satu perkara yang sudah terang, seperti halnya kewajiban shalat, zakat dan sebagainya.

Dengan demikian, jelaslah pendapat Ahmadiyah yang berbeda dengan umat Islam bukan ikhtilaf yang dibolehkan, melainkan termasuk penyimpangan yang kufur dan sesat. Orang-orang yang menganggap enteng masalah ini dan mengatakan pendapat Ahmadiyah hanya sekadar beda penafsiran saja, tak lain hanyalah kaum bodoh dan pembohong yang berusaha untuk menyesatkan dan memurtadkan umat Islam.[]

Share artikel ini: