Ahmad Sastra Kritik Empat Aspek Pemikiran Pluralisme Agama
Mediaumat.info – Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra menyebutkan setidaknya ada empat aspek yang bisa dijadikan kritik atas pemikiran pluralisme agama.
“Setidaknya ada empat hal (aspek) yang bisa dijadikan kritik atas pemikiran pluralisme agama ini,” tuturnya kepada media-umat.info, Sabtu (23/11/2024).
Pertama, aspek normatif. Secara normatif, yaitu dari kacamata akidah Islam, pluralisme agama bertentangan secara total dengan akidah Islam. Sebab pluralisme agama menyatakan bahwa semua agama adalah benar.
“Jadi, Islam benar, Kristen benar, Yahudi benar, dan semua agama apa pun juga adalah sama-sama benar. Ini menurut pluralisme,” ujarnya.
Adapun menurut Islam, jelas Ahmad, hanya Islam yang benar (QS Ali-Imran [3]: 19), agama selain Islam adalah tidak benar dan tidak diterima oleh Allah SWT (QS Ali-Imran [3]: 85).
Kedua, aspek orisinalitas. Asal-usul paham pluralisme bukanlah dari umat Islam, tapi dari orang-orang Barat, yang mengalami trauma konflik dan perang antara Katolik dan Protestan, juga Ortodok. Misalnya pada 1527, di Paris terjadi peristiwa yang disebut The St Bartholomeus Day’s Massacre. Pada suatu malam di tahun itu, sebanyak 10.000 jiwa orang Protestan dibantai oleh orang Katolik.
Ia menyatakan bahwa peristiwa mengerikan semacam inilah yang lalu mengilhami revisi teologi Katolik dalam Konsili Vatikan II (1962-1965). Semula diyakini bahwa extra ecclesiam nulla salus (outside the church no salvation/tak ada keselamatan di luar gereja). Lalu diubah, bahwa kebenaran dan keselamatan itu bisa saja ada di luar gereja (di luar agama Katolik/Protestan).
“Jadi, paham pluralisme agama ini tidak memiliki akar sosio historis yang genuine dalam sejarah dan tradisi Islam, tapi diimpor dari setting sosiohistoris kaum Kristen di Eropa dan AS,” jelasnya.
Ketiga, aspek inkonsistensi gereja. Andai kata hasil Konsili Vatikan II diamalkan secara konsisten, tentunya gereja harus menganggap agama Islam juga benar, tidak hanya agama Kristen saja yang benar.
“Tapi, fakta menunjukkan bahwa gereja tidak konsisten!” tegasnya.
Buktinya, ungkap Ahmad, gereja terus saja melakukan kristenisasi yang menurut mereka guna menyelamatkan domba-domba yang sesat (baca: umat Islam) yang belum pernah mendengar kabar gembira dari Tuhan Yesus.
“Kalau agama Islam benar, mengapa kritenisasi terus saja berlangsung? Ini artinya, pihak Kristen sendiri tidak konsisten dalam menjalankan keputusan Konsili Vatikan II tersebut,” terangnya.
Keempat, aspek politis. Secara politis, wacana pluralisme agama dilancarkan di tengah dominasi kapitalisme yang Kristen, atas Dunia Islam. “Maka dari itu, arah atau sasaran pluralisme patut dicurigai dan dipertanyakan, kalau pluralisme tujuannya adalah untuk menumbuhkan hidup berdampingan secara damai (peacefull co-existence), toleransi, dan hormat menghormati antar umat beragama,” tambahnya.
“Menurut Amnesti Internasional, AS adalah pelanggar HAM terbesar di dunia. Sejak Maret 2003 ketika AS menginvasi Irak, sudah 100.000 jiwa umat Islam yang dibunuh oleh AS,” bebernya.
Ia merasa khawatir bahwa dengan adanya pesantren lintas agama adalah adanya praktik sinkretisme. Secara etimologis, sinkretisme berasal dari perkataan syin dan kretiozein atau kerannynai, yang berarti mencampurkan elemen-elemen yang saling bertentangan.
“Adapun pengertian sinkretisme menurut istilah, adalah suatu gerakan di bidang filsafat dan teologi untuk menghadirkan sikap kompromi pada hal-hal yang berbeda dan bertentangan,” ujarnya.
Ia memaparkan bahwa sinkretisme bisa berupa penggabungan atau pencampuradukan ajaran dua agama atau lebih. Menggabungkan dua agama atau lebih dimaksudkan untuk membentuk suatu aliran baru, yang biasanya merupakan sinkretisasi antara kepercayaan lokal (umumnya di Jawa) dengan ajaran-ajaran agama Islam dan agama agama lainnya.
“Dari masing-masing agama tersebut diambil yang sesuai dengan alur pikiran mereka,” paparnya.
Ia memaparkan bahwa Islam adalah dien yang menyeluruh dan sempurna dan pasti mempunyai solusi (pemecah) atas segenap persoalan yang terjadi di antara umat manusia, termasuk salah satunya adalah bagaimana mengatur hubungan di dalam anggota masyarakat. Untuk menjaga kerukunan dan toleransi antar umat beragama, tidak mesti dengan mendirikan pesantren lintas agama. “Sebab alih-alih menyelesaikan masalah, yang ada adalah kekacauan,” ungkapnya.
“Allah sendiri melarang mencampuradukkan suatu ajaran agama dengan ajaran agama lain, karena merupakan perkara yang dilarang dalam agama Islam karena sama dengan mencampuradukkan antara kebenaran dengan kebatilan,” terangnya.
Ia pun mengutip firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 42, yang artinya, “Janganlah kalian mencampuradukkan kebenaran dengan kebatilan.”[] Ajira
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat