Ahmad Khozinudin: Narasi Terorisme Sudah Tidak Relevan Digaungkan, Muncul Narasi Radikalisme

 Ahmad Khozinudin: Narasi Terorisme Sudah Tidak Relevan Digaungkan, Muncul Narasi Radikalisme

Mediaumat.news – Terkait Gerakan Anti Radikalisme (GAR) Institut Teknologi Bandung (ITB) yang melaporkan Din Syamsuddin ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) atas pernyataan berbau radikalisme, Advokat Ahmad Khozinudin menyatakan ini adalah narasi baru yang disebut war on radicalism akibat narasi terorisme sudah tidak relevan untuk digaungkan.

“Narasi terorisme ini sudah tidak memenuhi relevansi untuk digaungkan, sehingga Barat menjajakan nomenklatur baru yang disebut dengan war on radicalism. Di Indonesia jualan terorisme narasinya itu sudah tidak laku,” ujarnya dalam acara Forum Group Discussion (FGD): antara Din Syamsuddin, Perpres RAN PE dan SKB Larangan ASN, Sabtu (20/02/2021) di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisa Data (PKAD).

Ahmad Khozinudin menyebut isu terorisme ini adalah isu lokal yang tidak bisa dilepaskan dengan narasi global yakni war on terorism. Di Indonesia Pada awal-awal ketika media menyiarkan secara langsung penangkapan terduga terorisme, masyarakat antusias dan terhipnotis oleh narasi terorisme ini. Sehingga timbul praduga di antara elemen anak bangsa, yaitu curiga kalau ada orang baru di lingkungannya, sebab kuatir orang tersebut adalah teroris.

Namun lama-kelamaan kata Ahmad Khozinudin, isu-isu terorisme dengan pendekatan represif penangkapan-penangkapan itu tidak memiliki korelasi, relevansi dan legitimasi di tengah masyarakat. Penguasa memang punya otoritas untuk membuat hukum dan menerbitkan produk legislasi, tapi penguasa tidak memiliki kekuasaan untuk memaksakan legitimasi penerapan kebijakan itu di tengah masyarakat.

Karena itulah, ia menilai, penguasa butuh narasi, agar kebijakan yang dikeluarkan tadi mendapat legitimasi atau dukungan dari rakyat. Kebijakan apa pun tanpa dukungan, tanpa legitimasi dari rakyat tentu akan kontraproduktif. Sebab bagaimanapun narasi yang digunakan oleh penguasa itu bertindak untuk dan atas nama rakyat. Kalau rakyatnya tidak setuju bahkan menolak kebijakan itu, terus penguasa itu bertindak untuk dan atas nama siapa?

“Nah dari situlah kemudian terbongkar, bahwa tindakan penguasa itu sesungguhnya bukan untuk kepentingan rakyat. Sesungguhnya tindakan itu dilakukan untuk kepentingan penguasa sendiri, kepentingan partai politik, kepentingan oligarki, dan lebih luas lagi adalah kepentingan kapitalisme global,” pungkasnya.[] Agung Sumartono

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *