Mediaumat.id – Guru Besar Linguistik Forensik UPI Prof. Dr. Aceng Ruhendi Syaifullah menegaskan, istilah memiting tidak bisa diartikan sebagai merangkul. “Dalam pemaknaan arti memiting, sangat tidak bisa diartikan sebagai makna merangkul,” paparnya kepada Mediaumat.id, Selasa (19/9/2023).
Pasalnya, perbuatan merangkul yang menurutnya sama dengan memeluk, tidak cenderung ke leher sebagaimana memiting yang mengarahkan tangan untuk mengapit leher dengan sekuat tenaga.
Artinya, saat merangkul atau memeluk memiliki kecenderungan dengan penuh kelembutan. “Memeluk lebih dominan arah tubuh namun dengan lembut,” jelasnya.
Hal ini ia paparkan sebagai respons pernyataan Panglima TNI Laksamana Yudo Margono dalam sebuah video dan viral di berbagai kanal media sosial, khususnya X. Ketika itu, Panglima memerintahkan anak buahnya untuk memiting massa di wilayah Rempang, Kota Kepulauan Riau, yang berunjuk rasa menolak relokasi.
“Lebih dari masyarakatnya itu satu orang miting satu, itu kan, iya kan, TNI-nya umpama masyarakatnya seribu, ya kita keluarkan seribu, satu miting satu, itu kan selesai. Enggak usah pake alat, dipiting aja satu-satu,” lontar Yudo Margono ketika itu.
Menanggapi hal tersebut, kontan Kapuspen TNI Laksda Julius Widjojono menyampaikan bahwa ada salah pemahaman dari masyarakat atas pernyataan tersebut. Menurut dia, istilah ‘memiting’ yang disampaikan Panglima TNI, bermakna merangkul.
Namun di sisi lain, Prof. Aceng pun kembali mengomentari bahwa istilah memiting yang juga berarti memeluk, menjadikan makna bias yang tinggi.
Apalagi jika dilihat dari kontekstual gestur Panglima TNI saat itu yang mencontohkan bagaimana memiting lawan dengan kuat.
Apalagi, sebagaimana termaktub di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata Prof. Aceng, makna memiting tidak bisa disamakan dengan merangkul.
“Memiting adalah mengapit atau menjepit dengan kaki atau lengan, contohnya ‘dengan cepat ia menubruk musuh itu lalu memiting lehernya’,” kutipnya.
Berbanding Terbalik
Menurut Prof. Aceng, penjelasan Kapuspen tersebut berbanding terbalik dengan pernyataan lainnya. “Berbanding terbalik dengan pernyataan lainnya,” sambung Prof. Aceng.
Artinya, ketika diperlukan upaya meredam aksi demonstrasi yang disebut berpotensi ‘brutal’ dan ‘anarkis’, tidak bisa kemudian TNI datang dengan pelukan atau senyuman menghadapi para demonstran.
Ditambahkan, ini hanya pernyataan kilahan untuk tak memperpanjang kesalahan dalam penggunaan bahasa oleh panglima TNI tersebut.
Lebih-lebih jika dikaitkan dengan UU RI No. 34 Tahun 2004, berikut sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (Hankamrata), yang menurutnya bersifat sama rata dan melibatkan seluruh warga negara Indonesia.
Maksudnya, tidaklah mungkin juga ketika Hankamrata diterapkan, penggunaan bahasa yang menurut TNI itu benar, tetapi secara pemaknaan hanya bisa dimengerti oleh hanya kelompoknya. “Ini sifat berkilah lainnya,” tambahnya.
Maka, harusnya hal ini menjadi cerminan untuk senantiasa berhati-hati dalam pemilihan kata. Agar makna yang diterima masyarakat luas menjadi makna pasti, bukan makna bias. “Ini menjadi bahaya ketika disalahartikan oleh publik,” sebutnya.
Kasus Serupa
Terdapat perkara lain yang sarat kilah atau alasan yang dibuat-buat, semisal kasus Mario Dandy dan David Ozora yang persidangan perdananya pada Selasa, 6 Juni 2023 lalu. “Bapak dari Mario Dandy, Rafael Alun Trisambodo yang saat itu sebagai Eselon Dua berkilah bahwa harta kekayaan yang dimilikinya terbatas atau sedikit,” beber Prof. Aceng.
Padahal, menurutnya, hal ini diungkapkan untuk menghindari pemeriksaan dari KPK dan BPK RI. Tak ayal, secara fakta persidangan membuktikan harta dimaksud sangatlah banyak, bahkan terkuak bermacam dokumen kepemilikan harta diatasnamakan orang lain.
“Atau, kontroversi kilahan BRIN terkait temuan Nikuba oleh Aryanto Misel yang saat itu dikatakan bahwa sejatinya BRIN tidak menolak penemuan, namun sedang diuji di laboratorium,” imbuhnya.
Di saat yang sama, Aryanto mendapatkan undangan ke Italia untuk dilakukan pengujian atas penemuannya oleh Ferrari dan kabarnya terbukti berhasil.
“Dalam hal ini lantas BRIN berkilah untuk melindungi potensi adanya tanggapan negatif publik terkait institusinya,” ujar Prof. Aceng.
Lantaran itu, adanya pemutarbalikan kebenaran yang bersifat dogmatis dengan penggiringan diksi lain ini, menurut Prof. Aceng, digunakan untuk melindungi salah satu kesalahan pribadi, kaum, maupun komunitas, agar tak menjadi unsur penjatuh.
Bisa pula menjadi hipokrit. “Kebenaran ditutupi oleh pemikiran pribadi, tanpa melihat sisi sudut pandang lainnya,” tukasnya.
Lebih itu, dari sisi linguistik, terutama dari sisi semantik, hal ini pun bisa dilihat dari siapa petutur dan penutur. Dalam hal ini petutur merupakan salah satu pejabat publik yang ranah cakupan ujarannya bukan hanya untuk konsumsi komunitas tertentu saja, tetapi juga masyarakat luas/umum, yang bahkan telah mampu mengartikan bahasa sebagaimana penafsiran dasar pada umumnya.
“Bisa disimpulkan bahwa adanya ‘kilahan’ yang dilakukan oleh Panglima TNI, Kasuspen Laksda Julius hanya didasarkan untuk menghentikan isu kontroversi atas bahasa yang digunakan ketika Panglima TNI memberikan pengarahan kepada anggotanya di depan media,” pungkasnya.[] Zainul Krian