Mediaumat.news – Direktur HRS Center dan Ahli Hukum Pidana Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. memprediksi tiga kemungkinan terkait wacana amandemen UUD 1945 dalam hal jabatan presiden dan wakilnya.
“Terkait dengan wacana amandemen UUD 1945, dalam hal jabatan presiden dan wakil presiden, saya memiliki catatan, saya memiliki prediksi setidaknya ada tiga prediksi saya,” ujarnya dalam Islamic Lawyer Forum: Amandemen Konstitusi dan NKRI Harga Mati, Ahad (29/8/2021) di kanal YouTube LBH Pelita Umat.
Pertama, dilakukan perpanjangan masa jabatan presiden dan wakilnya hingga 2027. Jika benar demikian, lanjutnya, maka hal yang sama juga berlaku bagi anggota DPR dan DPD hasil pemilu 2019.
Kedua, jabatan presiden dan wakilnya akan dijadikan 3 periode. “Jabatan presiden dan wakil presiden akan menjadi tiga periode dengan tetap masa jabatannya selama lima tahun di setiap periodenya,” terangnya.
Ketiga, jabatan presiden dan wakilnya tetap 2 periode, namun ada penambahan masa jabatannya menjadi 8 tahun. “Kalau dua periode, berarti menjadi enam belas tahun,” jelasnya.
Tawar Menawar
Dari semua kemungkinan tersebut, ia memastikan terdapat konfigurasi praktik tawar menawar ‘kekuatan’ di parlemen. Sebab menurutnya, hukum saat ini bekerja sebagai agenda politik atau setidaknya bekerja dengan menyembunyikan agenda politik.
Maka yang akan terjadi, hukum cenderung lebih berpihak kepada pemilik kekuatan ekonomi maupun politik. “Dalam memahami masalah hukum terkait wacana amandemen konstitusi, kita juga harus melihat dari konteks power relation-nya,” tutur Abdul Chair.
Bahkan dengan semakin dekatnya tahun politik 2024 ditambah dengan bertemunya oligarki politik dengan oligarki ekonomi yang sama-sama menargetkan posisi dominan dalam sebuah pilpres, ia melihat semakin kuat pula politik transaksionalnya.
Sebagaimana UU pelarangan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, rumusan yang menyebut posisi dominan berarti menguasai pasar dengan memiliki posisi tertinggi di antara para pesaingnya dalam hal keuangan, akses pasokan, penjualan serta kemampuan menyesuaikan terhadap penawaran dan permintaan barang atau jasa, menurutnya juga memiliki persamaan dengan posisi dominan dalam pelaksanaan pilpres.
Meski tidak dilarang, ia khawatir posisi dominan yang terbentuk dari koalisi pemerintah saat ini dengan jumlah 471 dari total 575 kursi di DPR dan bisa dipastikan menyetujui usulan amandemen konstitusi, akan tercatat sebagai posisi dominan yang tidak sehat dan berpotensi tidak adil.
Oleh karena itu, ia mengajak masyarakat dalam menyikapi tantangan yang ada saat ini dan yang akan datang, dengan senantiasa menggalang kekuatan dengan memunculkan attractive password yang terbebas dari oligarki serta strategi asing maupun aseng. “Itu juga berhubungan dengan tindakan terstruktur dan sistemik dalam fraud, kecurangan pemilu dan dapat menjadi awal terjadinya persaingan pemilu yang tidak sehat,” pungkasnya. [] Zainul Krian