Ahli Hukum Pidana: Penangkapan Munarman Bertentangan dengan Prinsip Proporsionalitas dan Menyalahi UU
Mediaumat.news – Ahli Hukum Pidana Dr. H. Abdul Chair Ramadhan, S.H., M.H. mengatakan, penangkapan terhadap eks Sekretaris Umum DPP Front Pembela Islam (FPI) Munarman yang dilakukan oleh Densus 88 Antiteror Polri bertentangan dengan prinsip proporsionalitas dan menyalahi undang-undang.
“Penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 Antiteror Polri selain dipandang bertentangan dengan prinsip proporsionalitas juga menyalahi ketentuan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014,” ujarnya kepada Mediaumat.news, Jumat (30/4/2021).
Abdul Chair menilai, tindakan penangkapan yang banyak menuai kritik dan protes tersebut sampai saat ini tidak ada kejelasan menyangkut surat ketetapan penetapan tersangka, apakah benar yang bersangkutan telah ditetapkan sebagai tersangka sebelum penangkapan dilakukan.
Menurut informasi yang ia dapat, diketahui bahwa surat penetapan status tersangka tersebut dikirimkan melalui jasa pengiriman, jadi tidak diserahkan secara langsung. Dan pihak keluarga menyatakan belum pernah menerima surat dimaksud.
Abdul Chair memandang, surat penetapan status tersangka yang dikirimkan melalui jasa pengiriman dipandang tidak sesuai dengan prinsip proporsionalitas. Prinsip proporsionalitas adalah menunjuk pada suatu tindakan yang masuk akal, sehingga disebut proporsional.
Sebaliknya, kata Abdul Chair, disebut tidak proporsional jika tindakan tertentu tidak masuk akal. Padanan kata yang memiliki arti yang sama dengan tidak masuk akal adalah ilegalitas dan ketidakpantasan prosedural.
Abdul Chair mempertanyakan, jika memang benar surat ketetapan penetapan tersangka telah diterbitkan mengapa tidak diserahkan secara langsung? Apa yang menjadi alasan dikirimkan melalui jasa pengiriman?
“Informasi rekan pengacara bahwa aparat menyerahkan surat penetapan status tersangka pada tanggal 27 April 2021 setelah dilakukan penangkapan, dalam surat penetapan a quo bertanggal 20 April 2021. Kemudian pihak pengacara menolak menerima dan menandatanganinya,” ungkapnya.
Menurut Abdul Chair, penetapan status tersangka harus mendahului penangkapan, terkecuali tertangkap tangan. Oleh karena itu penangkapan tanpa sebelumnya ada penetapan status tersangka adalah menyalahi Hukum Acara Pidana. Padahal ketentuan Pasal 1 angka 20 jo Pasal 17 KUHAP sudah demikian jelas menyebutkan kepentingan penangkapan terkait dengan status tersangka.
Ia menyebut, penangkapan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme memiliki masa waktu yang lebih lama dibandingkan dengan KUHAP. Jangka waktu penangkapan yang diatur dalam KUHAP dilakukan paling lama satu hari (1×24 jam), sehingga jangka waktu penangkapan adalah 1 (satu) hari sebagaimana disebutkan dalam Pasal 19 ayat (1) KUHAP. Adapun Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menentukan penangkapan untuk jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari.
“Dalam hal penangkapan terhadap Munarman sebagaimana dipertanyakan di atas tentu sangat ganjil, sehingga menimbulkan misteri,” beber Abdul Chair.
Abdul Chair mengatakan, ketersediaan waktu penangkapan yang relatif lama seharusnya didahului atau setidak-tidaknya diiringi dengan pemberitahuan tentang penetapan status tersangka secara langsung, namun hal itu tidak terjadi. Terlebih lagi ada kontradiksi keterangan. Di satu sisi informasi menyebutkan surat penetapan status tersangka telah dikirimkan melalui jasa pengiriman. Di sisi lain aparat justru menyerahkannya pada tanggal 27 April 2021 pada hari yang sama (setelah) dilakukannya penangkapan.
“Oleh karena itu, penolakan dari pihak pengacara untuk menerima dan menandatangani surat ketetapan penetapan tersangka dapat dibenarkan,” pungkasnya.[] Agung Sumartono