Agenda Fasisme Hindutva Rezim Modi Mengarah Pada Perlawanan Massal Kaum Muslim di India
Setelah mencaplok Kashmir secara sepihak, di mana hal itu melanggar konstitusi India, maka apa yang dilakukan Perdana Menteri India Narendra Modi, dengan menetapkan undang-undang kebangsaan baru yang secara telanjang mendiskriminasi kaum Muslim di India, akan mengakibatkan perlawanan massal kaum Muslim di negara tersebut.
Menurut Reuters (27/12): India mengerahkan ribuan polisi dan menutup layanan Internet seluler di beberapa kota pada hari Jum’at untuk mengendalikan protes terhadap undang-undang kewarganegaraan yang baru.
Kontrol keamanan sangat ketat di negara bagian utara Uttar Pradesh, di mana 19 orang telah tewas sejak protes dimulai pada 12 Desember, dari setidaknya 25 kematian di seluruh negeri.
Pihak berwenang takut akan adanya kerumunan besar setelah shalat Jum’at. Demonstrasi telah berlangsung setelah shalat Jum’at di kota-kota Delhi, Calcutta, Bangalore dan Mumbai. Namun tidak ada laporan kekerasan yang terjadi hingga pukul 12:00 GMT. Di Meerut, tempat di mana 5 orang tewas setelah kekerasan hari Jum’at lalu, serta tidak ada aksi unjuk rasa. Kepala polisi kota mengatakan kepada Reuters bahwa sekitar tiga ribu polisi telah dikerahkan, jumlah ini empat kali lebih banyak dari minggu lalu.
Undang-undang memfasilitasi minoritas di India yang berasal dari negara-negara tetangga mayoritas Muslim—Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan—yang menetap sebelum 2015 untuk memperoleh kewarganegaraan, tetapi fasilitas ini tidak diberikan kepada mereka yang Muslim. Para kritikus mengatakan bahwa undang-undang—dan khususnya rencana untuk catatan kewarganegaraan nasional—akan mendiskriminasi kaum Muslim, dan merupakan serangan terhadap konstitusi sekuler negara itu oleh Perdana Menteri Narendra Modi dari nasionalisme Hindu. Pemerintah mengatakan bahwa tidak ada warga yang akan terkena dampak, dan bahwa tidak ada rencana pendaftaran yang akan segera dilakukan.
Pemerintah negara bagian mengatakan pada hari Jum’at bahwa layanan Internet seluler telah ditutup di banyak bagian Uttar Pradesh, termasuk ibukota regional Lucknow.
Di ibukota nasional, New Delhi, polisi memberlakukan undang-undang darurat di beberapa bagian kota, dan melarang pertemuan besar. Menurut sejumlah channel berita, bahwa larangan yang sama ini telah diberlakukan di Uttar Pradesh selama lebih dari seminggu.
Ribuan demonstran berunjuk rasa dengan mengibarkan bendera India dan membawa spanduk yang berisi penolakan terhadap undang-undang baru, dalam aksi demonstrasi damai di kota Bengaluru, di tengah-tengah pengawalan polisi yang sangat banyak.
“Saya berada di sini karena pencatatan nasional ini tidak benar,” kata Iqbal Ahmad (42 tahun), seorang penjual karpet Muslim, dan salah seorang peserta unjuk rasa, maksudnya adalah pencatatan nasional warga negara. “Ini tanah kami, dan aku dari sini … Bukankah kita orang India?”
Kaum Muslim adalah komuntas terbesar kedua di India dalam hal agama. Jumlah mereka sekitar 14% dari 1,3 miliar penduduknya. Di beberapa bagian negara juga berlangsung aksi demonstrasi yang mendukung undang-undang kebangsaan baru. Akan tetapi jumlah demonstrasi dan protes terhadap undang-undang ini jumlahnya jauh lebih banyak daripada mereka yang mendukung.
Sebelum Inggris memerintah India, tidak ada konsep agama Hindu, di mana Muslim dan non-Muslim hidup dalam harmoni yang sempurna di bawah pemerintahan Islam. Sekularisme demokrasi yang diperkenalkan oleh Inggris, dan yang berlanjut hingga hari ini, telah mendukung pengembangan identitas politik yang kontroversial, yang berupaya membangun basis untuk partai politik regional dan nasional. Perdamaian tidak akan pernah terwujud kembali di India sampai India sepenuhnya kembali pada pemerintahan Islam. Kaum Muslim India, meskipun minoritas jumlahnya, mereka lebih mampu untuk kembali memerintah seluruh India (kantor berita HT, 3/1/2020).