Mediaumat.id – Agenda solarisasi sawit atau program mandatori campuran biodiesel 30 persen dalam BBM jenis solar (B30), dinilai untuk menyelamatkan para taipan sawit dari pemboikotan pasar Eropa dan negara lainnya.
“Ini agenda bisa sekaligus dalam rangka menyelamatkan para taipan sawit dari gempuran pemboikotan pasar Eropa dan negara lainnya,” ujar Peneliti Senior Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Salamuddin Daeng kepada Mediaumat.id, Senin (7/2/2022).
Sebelumnya dikabarkan, program B30 Pertamina akan menyerap 10 juta ton minyak sawit dengan nilai saat ini sekitar Rp170 triliun. Sebuah pasar yang memang bersifat pasti berikut mandatorinya yang ditetapkan melalui regulasi pemerintah.
Di samping itu, melalui obligasi internasional atau surat utang negara, Pertamina bakal memiliki uang banyak sekali. “Pertamina juga punya program global bond hingga 20 miliar dolar atau sekitar Rp500 triliun,” ungkapnya.
Karena itulah, para taipan sawit juga tidak perlu membangun industri pengolahan biodiesel serta menjualnya, karena sudah ada Pertamina yang akan membelinya. “Dengan demikian melalui penguasa, Pertamina bisa ditekan membeli dengan harga berapa pun. Beres ini barang,” tandasnya.
Sehingga, lanjut Daeng, publik bisa membayangkan pasar biodisel akan menjadi pasar yang benar-benar bersifat captive atau menawan karena memang disediakan oleh negara.
Maka tuturnya, sepanjang oligarki Indonesia masih kuat bertarung menghadapi agenda climate change (perubahan iklim) dunia, maka pasar minyak sawit Indonesia akan berjaya.
Apalagi ketika Pertamina bisa menyerap lebih dari 35 juta ton minyak sawit untuk program B100. “Kalau dikalikan dengan harga sekarang maka nilainya mencapai Rp521 triliun. Itu sama dengan separuh pendapatan pajak negara Republik Indonesia,” terangnya.
Ditambah jika harga DMO (domestic market obligation) minyak sawit dalam negeri bisa dihindari dengan Pertamina tetap membeli dengan harga pasar maka, kata Daeng, para trader sawit juga tidak perlu lagi menanggung resiko.
Dengan kata lain, dari nilai pasar lebih dari Rp500 triliun, yang menurutnya, sudah sangat pasti dibeli Pertamina, perusahaan-perusahaan trader sawit bisa langsung IPO (initial public offering) dengan menawarkan saham perdana mereka.
Dari situ, lanjut Daeng, akan ada aliran uang yang sangat besar dari pasar keuangan. “Selain itu bisa menambah utang dalam jumlah besar dan dipercaya pemberi utang karena pasar bersifat pasti,” tambahnya.
Bahkan sebagai trader sawit juga bisa meminta bagian dana subsidi iuran sawit yang sekarang dikumpulkan pemerintah untuk pembinaan pengusaha sawit. “Selain dapat pasar yang captive, juga mendapatkan subsidi dari negara,” imbuhnya.
Demikian, trader sawit memang bersifat oligopolistik yang bisa mengatur harga. Alhasil, sambung Daeng, secara keuangan mereka bisa mengatur pendapatan tanpa resiko sedikit pun. “Bisnis semacam ini hanya butuh biaya ngopi-ngopi dengan pembuat kebijakan,” sindirnya.
Oleh karena itu, Daeng pun memprediksi, mega proyek solarisasi sawit hanya akan membuat Pertamina buntung. Sebab di dalam biodisel B30, terdapat 30% minyak goreng.
Artinya, ada Rp6.000 di dalam di dalam solar biodiesel. “Kalau harga biodiesel Rp.9000 maka Pertamina mensubsidi Rp2700 atau bahasa lain Pertamina rugi Rp2700,” jelasnya.
“Nah kalau kebutuhan minyak sawit Pertamina 10 juta KL, maka Pertamina rugi 27 triliun. Tetapi ini gampang, jika Pertamina bangkrut, maka tinggal disuntik dana dari APBN. Toh sekarang kata Sri Mulyani penerimaan pajak melampaui target,” sambung Daeng.
Bisnis Otomotif
Daeng juga memandang, disebabkan konon mesin yang ada saat ini agak kurang cocok dengan BBM dimaksud, ke depannya para taipan sawit bisa membangun industri otomotif yang khusus menyerap BBM jenis solar campur minyak goreng itu. “Tinggal pakai regulasi, maka bisnis otomotif ini akan bisa segera berjaya,” tukasnya.
Sehingga dengan program pembangkit listrik 70% batu bara ditambah nantinya Pertamina yang harus membeli 100 juta ton batu bara menggantikan LPG, serta 30 juta ton sawit untuk solarisasi sawit, Presiden Jokowi bisa menunjukkan program-programnya kepada dunia ketika pertemuan G20 yang mungkin digelar di IKN baru.
“Nanti pertemuan G20 kalau bisa di lokasi IKN yang baru, mudah-mudahan sudah terbangun, supaya Jokowi bisa pamerkan batu bara dan sawitnya pada dunia sebagai penopang energi nasional,” ucap Daeng.
Padahal di sisi lain, Uni Eropa secara tegas sudah menyatakan bahwa pencampuran minyak goreng dengan solar atau biodiesel bukan merupakan agenda transisi energi, maupun energi terbarukan.
“(Tetapi) cuek ajalah, nanti Uni Eropa tidak usah dibagikan uang USD100 miliar biaya climate change yang sekarang di bawah penguasaan dan pengelolaan Indonesia,” pungkasnya.[] Zainul Krian