Mediaumat.id – Advokat Ahmad Khozinudin menyatakan pemerintah tidak bersikap tegas terhadap isu Papua. “Pemerintah tidak bersikap tegas terhadap isu Papua, walaupun berulang,” tuturnya dalam diskusi Perspektif PKAD: Gawat OPM Merajalela Pasca Nembe Ditangkap KPK, Kamis (12/1/2023) di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data.
Ahmad memaparkan, dalam konteks bernegara, memang ada dua isu utama. Kewenangannya akan dibagi dalam isu utama, pertahanan atau keamanan. “Kalau itu isu keamanan harus ada konsistensi penegakan hukum yang domainnya Polri. Dan kalau kita lihat aktivitas kelompok kriminal bersenjata, Organisasi Papua Merdeka, Saya lebih suka menyebut organisasi teroris Papua, karena apa yang dilakukan sudah memenuhi unsur tindakan terorisme,” terangnya.
Hal ini, lanjut Ahmad, sebagaimana UU No. 5 Tahun 2018, yang merupakan perubahan dari UU No. 12 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.
Menurutnya, domain terorisme, tugas dan fungsi menegakkan hukum di tingkat penyelidikan dan penyidikan itu dibebankan pada Detasemen Anti Teror Khusus 88. “Sayangnya Densus 88 ini dalam kasus OPM Papua tidak pernah hadir,” sesalnya.
Ia menjelaskan ada ambiguitas tentang isu OPM. “Apakah masuk domain penegakan hukum sehingga harus insitusi kepolisian yang full ada di sana? Dalam hal ini Densus 88 yang memang terdepan dalam konteks penanganan bahkan pemberantasan terorisme, atau menjadi domainnya TNI karena ini menjadi isu pertahanan?” tanyanya heran.
Ia pun menguraikan soal isu yang pertama terjadi semacam ambiguitas, dalam konteks isu penegakan hukum yang ditegakkan oleh Polri. “Misalnya, dalam konteks ustadz ustadz kita yang masih dalam koridor devitable. Apa masuk dalam kategori teroris atau tidak,” imbuhnya.
Ia menerangkan bahwa secara faktual memang tidak ada akibat yang muncul dari fakta tindakan Ustadz Farid Okbah, Ustadz Hanung, Ustadz Ahmad an-Najjaad dengan pasal 7 junto UU terorisme. “Juga ada pasal 12B, 12C, termasuk juga tentang tuduhan pendanaan terorisme,” urainya.
“Tetapi pada akhirnya dalam peradilan yang terbukti pasal 13. Itu pun sangat dipaksakan, yaitu menyembunyikan informasi seputar terorisme,” lanjutnya.
Ahmad pun mengajak membandingkan dampak faktualnya. “Tentu saja kita sepakat bahwa akibat yang ditimbulkan dari tindakan tiga ustadz ini dengan apa yang dilakukan OPM atau kita sebut teroris Papua, tentu semua sepakat unsur-unsur dalam tindak terorisme lebih banyak terjadi di Papua oleh OPM,” terangnya.
Ia menegaskan, ada diskriminasi dalam penegakan hukum. “Di satu sisi ulama-ulama kita yang sebenarnya mereka mempunyai perspektif terhadap ajaran agamanya dan berusaha memperjuangkan agamanya dinarasikan telah melakukan tindak pidana terorisme dengan pemberitaan yang luar biasa dan berulang-ulang,” ungkapnya.
Seolah-olah ada kehancuran manusia, fasilitas publik, yang dilakukan oleh ulama-ulama. “Padahal tidak ada satu fakta yang terindera dengan hal itu,” tukasnya.
Sementara di sisi lain, lanjut Ahmad, KKB jelas merusak fasilitas publik, menimbulkan teror dengan pembunuhan, yang bukan hanya pembunuhan sipil tapi juga TNI dan Polri. “Tapi sampai hari ini, alih-alih ada tindakan yang secara tegas oleh Densus 88 yang memang terdepan dalam tindak penyelidikan dan penyidikan terorisme. Akhirnya gamang, seolah-olah ini kewenangan TNI,” bebernya.
Ia menerangkan, adanya sisi lain TNI yang tidak terlalu berani mengambil masalah ini karena tidak ada ketegasan negara bahwa ini adalah unsur pertahanan yang merongrong kedaulatan negara. “Sehingga tindakan represif yang diambil secara terukur oleh militer itu dibenarkan dan dilegitimasi oleh negara,” pungkasnya.[] Nita Savitri