Mediaumat.id – Advokat Aziz Yanuar menilai kasus Km 50 yang menewaskan enam syuhada FPI terjadi rekayasa yang jauh lebih brutal dibandingkan kasus Duren Tiga. “Indikasinya korban 6 nyawa anak bangsa tak bersalah. Kemudian dugaan siksaan dari dokumentasi foto dan video serta keterangan para saksi yang menyaksikan dimandikan mayat jelas mengatakan demikian,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Ahad (28/8/2022).
Menurutnya, ada upaya fitnah keji dari tuduhan bawa dan gunakan sajam dan senpi, menyerang petugas resmi kepolisian, hingga ada operasi media dan penggalangan opini bahwa para syuhada ini bersalah. “Ini yang kita bisa lihat dalam keterangan Kompolnas dan Komnas HAM serta para buzzerRp, juga jangan lupa soal konferensi pers yang melibatkan Pangdam Jaya dan Kapolda Metro Jaya beserta jajarannya,” bebernya.
Kemudian, lanjut Aziz, ada galangan karangan bunga dukungan. “Coba itu para pembunuh dan penjahat perampas nyawa dapat simpati dan dukungan hingga diakhiri dengan putusan lepas (onslag) dari PN Jaksel dari dua saja terdakwa,” ujarnya.
Padahal, menurutnya, itu terstruktur dengan dibuktikan ada Surat Perintah Nomor SP.GAS/9769/12/2020/Subdit III Tanggal 5 Desember 2020 yang tugasnya untuk pemantauan atau surveilans dan juga ada komunikasi antara para pelaku dengan komandan-komandannya. Ada saksi juga di Km 50 mengatakan ada beberapa mobil datang pasca kejadian di antaranya Landcruiser hitam. “Ini jelas terstruktur dan ada komando, lalu ending-nya onslag.
Padahal, lanjut Aziz, ada yurisprudensi yakni Yurisprudensi No. 1/Yur/Pid/2018 yang bunyinya: “Unsur dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain terpenuhi apabila pelaku menyerang korban dengan alat seperti senjata tajam dan senjata api di bagian tubuh yang terdapat organ vital, seperti bagian dada, perut, dan kepala.”
Ia juga mengatakan, jelas divonis Km 50 PN Jaksel sebagaimana vonis Nomor 867/PID.B/2021/PN Jaksel halaman 24 dan di persidangan terungkap bahwa salah satu terdakwa menurut keterangan menghabisi dua syuhada bernama M Suci Khadavie dan M Reza dalam kondisi mereka tidak berdaya, namun dari jarak dekat mereka dihabisi ditembak di organ vital dada.
“Dan ingat sprin (surat perintah) tadi yang saya sebutkan untuk surveilans (pengamatan) bukan untuk menangkap atau melumpuhkan dan atau menangkap. Urgensi apa harus dibunuh? Ini jelas telak Pasal 338 KUHP hukuman maksimal 15 tahun. Namun dibebaskan?” herannya.
“Jelas ini case building (bangunan kasus) sejati dan banyak terlibat di dalamnya sehingga ini jauh lebih brutal,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it