Mediaumat.news – Salah satu akar masalah dari perusakan Gedung Kantor Desa Bojong Koneng, Kecamatan Babakan Malang, Kabupaten Bogor oleh massa yang berawal dari upaya penggusuran pihak Sentul City adalah administrasi pertanahan yang belum 100 persen clear dan clean.
“Akar masalah sengketa tanah di mana pun di seluruh Indonesia adalah administrasi pertanahan yang belum 100 persen clear (secara teknis) dan clean (juridis),” tutur Peneliti Utama Badan Informasi Geospasial Prof. Dr.-Ing Fahmi Amhar kepada Mediaumat.news, Rabu (6/10/2021).
Ia mengatakan, clear berarti jelas letak, luas dan batas fisik tanah yang digambarkan dalam peta. Clean berarti bebas dari hak dan/atau peruntukan pihak lain yang dituangkan dalam Surat Keterangan, juga bebas dari sengketa. “Di Indonesia, baru sekitar 20 persen dari sekitar 100 juta bidang tanah yang sudah dinyatakan clear and clean,” ungkapnya.
“Ada yang baru clean saja, tetapi posisinya masih ‘melayang-layang’,” tambahnya.
Selain itu, menurutnya, pemahaman masyarakat terhadap jenis hak atas tanah juga menjadi akar masalahnya. Hak yang terkuat adalah sertifikat hak milik (SHM). Setelah itu hak guna bangunan (HGB) yang harus diperpanjang setelah 30 tahun, jika tidak hak itu dikembalikan kepada negara.
“Karena ketidaktahuan masyarakat ini, terjadilah jual beli tanah dari orang yang sebenarnya tidak memiliki sepenuhnya tanah tersebut,” ungkapnya.
Ia menambahkan, akar masalah lainnya disebabkan adanya oknum pejabat nakal karena intervensi finansial (dari pengembang nakal) maupun politik (pejabat nakal).
“Notaris yang mestinya memeriksa secara teliti baik objeknya (tanah) maupun subjeknya (pelaku transaksi), ada yang mengabaikan kewajibannya ini. Notaris menjadi ‘pabrik akta’. Demikian juga yang terjadi di kelurahan atau di Badan Pertanahan Nasional (BPN),” jelasnya.
Karena itu, menurut Prof Fahmi, masyarakat harus diberi edukasi soal pertanahan, dan pemerintah wajib melindungi masyarakat dengan segera mungkin membenahi data pendaftaran tanah, sehingga semua segera clear dan clean.
Ia juga mengatakan, dalam jangka panjang hukum pertanahan harus dibenahi agar tidak terjadi lagi kekaburan seperti saat ini. “Hukum pertanahan Islam harus digali dan dilengkapi dengan seperangkat aturan teknis yang operasional dan sistem informasi agar dapat ditegakkan di lapangan,” ujarnya.
Pada sistem Islam, tanah yang ditelantarkan selama tiga tahun dapat disita oleh negara. “Tanah yang ditelantarkan tiga tahun dapat disita oleh negara agar lebih produktif,” pungkasnya.[] Ade Sunandar