Adakah Sanksi Harus Dijatuhkan pada Dugaan Skandal Kebohongan?
Oleh: Bambang Widjojanto, mantan Wakil Ketua KPK
Kehebohan dan silang sengkarut penarikan penyidik KPK di ujung klimaks. Integritas, akuntabilitas serta kehormatan KPK dan Polri jadi taruhannya. Judul berita KumparanNews (14 Februari 2020) menakzimkan kebenaran adanya kebohongan, sekaligus dapat mendobrak kedok ketidakjujuran yang hendak terus menerus disembunyikan bahwa Rossa ditarik pulang karena adanya kepentingan dan keinginan dari Polri sendiri.
Media di atas menuliskan judul Muslihat Firli di Balik Skandal Pengembalian Kompol Rossa. Kosa kata “muslihat” digunakan untuk memperlihatkan dugaan keras fakta pembohongan menjadi sesuatu yang nyata atas klaim Firli yang menerima surat permohonan penarikan Kompol Rossa dari Polri.
Salah satu hal yang paling mengerikan, indikasi pembohongan itu berbalut dugaan penyalahgunaan kewenangan karena media di atas menuliskan “…beberapa hari sebelum surat dari Asisten SDM Polri terbit, Firli meminta Irjen Eko Indra Henri untuk menarik pulang Rossa ke Korps Bhayangkara. Firli, meski menjabat Ketua KPK, masih berstatus perwira tinggi Polri aktif berpangkat jenderal bintang tiga…”.
Berita tersebut menegaskan, Ketua KPK yang meminta dulu Asisten SDM Polri untuk menarik pulang Rossa. Itu dapat terjadi karena Firli perwira tinggi Polri sehingga dapat memerintahkan Asisten SDM Polri. Pada konteks itu potensial terjadi penyalahgunaan kewenangan.
Karena itu perlu dipertimbangkan oleh Kapolri dengan diajukan pertanyaan, apakah tidak sebaiknya Ketua KPK yang berasal dari instansi kepolisian diberhentikan dulu dari jabatannya dan atau diberhentikan sementara dari institusinya sesuai perintah UU agar tidak terjadi konflik kepentingan?
Ada hal lain yang dapat dikualifikasi sangat memalukan dan sungguh tak pantas dilakukan Ketua KPK, jika benar apa yang dituliskan dalam pernyataan media di atas “… untuk memuluskan skenario pengembalian Rossa, Firli mengklaim penarikan tersebut sudah disetujui Kapolri Jenderal Idham Azis. Namun Idham baru mengetahui polemik pengembalian Rossa belakangan. Ia merasa tidak pernah memberi persetujuan, dan marah karena namanya dicatut…”
Berita di atas menegaskan, ada kebohongan yang dilakukan dengan mengatasnamakan jabatan tertinggi institusi Polri. Tindakan itu bukan hanya tidak pantas tapi apakah hal dapat dikualifikasi sebagai tindakan insubordinasi pada puncak tertinggi pimpinan Polri? Juga dugaan tindakan tercela Ketua KPK?
Selain itu, bukankah harus ditabukan dan seyogianya tak patut dilakukan oleh seorang Pimpinan di sebuah lembaga seperti KPK yang integritas kehormatannya harus diletakan di atas segalanya. Hal ini berkaitan dengan pernyataan lanjutan dalam berita tersebut yang mengemukakan “…Idham segera memerintahkan penarikan Rossa dianulir. Pada 21 Januari, Wakapolri Komjen Gatot Eddy menandatangani surat No. R/21/I/KEP/2020 mengenai pembatalan penarikan Rossa…”
Tapi apa lacur, berita itu menyatakan “… surat kemudian dijemput seorang staf Firli. Ia langsung membawanya ke ruangan Firli tanpa melewati prosedur surat-menyurat yang berlaku di KPK…” Pertanyaannya, apakah tindakan itu ditujukan untuk “menyembunyikan” indikasi “pembohongan” yang sudah mulai terbongkar?
Perbincangan reflektif yang perlu diajukan dan ditanyakan, jika ada kejadian luar biasa seperti di atas, apakah sanksi perlu dijatuhkan pada siapa pun, termasuk Ketua KPK, sehingga potensi kebohongan yang bertubi-tubi dapat dikendalikan agar KPK dan Polri dapat terus dijaga integritas, akuntabilitas dan kehormatannya.[]
Bambang Widjojanto, 17 Februari 2020