Ada Propaganda di Balik Sertifikasi Halal Nama ‘Tuak, Beer, Wine’?

Mediaumat.info – Pemimpin Redaksi Majalah Al-Wa’ie Farid Wadjdi menilai di balik sertifikasi halal terhadap beberapa nama produk pangan dengan merek ‘tuyul’, ‘tuak’, ‘beer’, dan ‘wine’, ada propaganda agar umat menganggap biasa terhadap pemanfaatan sesuatu yang telah diharamkan Islam.

“Bisa jadi ini ada propaganda untuk menganggap lumrah barang-barang yang sebenarnya itu adalah haram,” ujarnya dalam Sorotan Dunia Islam, Rabu (2/10/2024) di Radio Dakta 107.0 MHz FM Bekasi.

Tak hanya itu, meski pascaviral kemudian ada perubahan nama produk pangan dimaksud, penamaan merek yang identik dengan sesuatu yang haram, juga dinilai berkaitan dengan upaya memunculkan keraguan atas umat terhadap keharaman.

Dengan kata lain, walaupun secara zat terkategori halal, tetapi karena berlabel ‘beer’ atau ‘wine’, yang notabene sudah menjadi pemahaman publik sebagai minuman beralkohol, akhirnya umat bimbang terhadap keharaman minuman beralkohol yang sesungguhnya.

“Ini yang kemudian harus dicegah,” cetusnya, seraya berharap pihak-pihak terkait serius menyikapi hal ini dan tidak hanya mengelak dengan mengatakan persoalan ini sekadar nama atau merek.

Terlebih melihat kondisi masyarakat Indonesia adalah mayoritas beragama Islam, masalah halal dan haram apalagi terkait pangan haruslah benar-benar jelas. “Masalah halal dan haram ini, apalagi terkait makanan minuman ini harus benar-benar jelas. Karena masyarakat kita ini mayoritas Muslim,” tandas Farid.

Beredar sebelumnya video yang memaparkan sejumlah nama produk pangan dengan nama ‘tuyul’, ‘tuak’, ‘beer’, dan ‘wine’ telah mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal Kementerian Agama (BPJPH Kemenag).

Menurut Kepala Pusat Registrasi dan Sertifikasi Halal BPJPH Kemenag Mamat Salamet Burhanudin dalam keterangannya, Selasa (1/9), yang menjadi persoalan hanya penamaan produk. Sementara ia memastikan kandungan produk-produk itu halal dan sudah melalui proses sertifikasi dari Komite Fatwa.

Peran MUI

Namun demikian, kata Farid lebih lanjut, meski sempat menyenggol perbedaan pendapat di antara ulama mengenai penamaan produk dalam proses sertifikasi halal, tetap menjadi penting bagi BPJPH Kemenag merujuk ke Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) No. 44 Tahun 2020 tentang Penggunaan Nama, Bentuk dan Kemasan Produk yang Tidak Dapat Disertifikasi Halal.

Mengutip ketentuan hukum dari fatwa tersebut, produk yang tidak dapat disertifikasi halal sangat jelas terpampang di angka 2, yaitu produk yang menggunakan nama benda/hewan hukumnya haram, kecuali yang telah mentradisi (‘urf) dan dipastikan tidak mengandung bahan yang diharamkan.

Terkait ketentuan itu, Farid pun memisalkan kebolehan mengonsumsi produk minuman tradisional khas Betawi yaitu bir pletok. “(Tradisi) ’urf-nya itu memang seperti itu,” jelasnya, seputar minuman yang terbuat dari campuran berbagai macam rempah-rempah.

Di sisi lain, penting untuk diketahui juga, di dalam dasar hukum penyelenggaraan JPH yakni Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, MUI tetap memiliki peran dalam proses sertifikasi halal.

Artinya dalam menerbitkan dan mencabut sertifikat dan label halal pada produk, pemerintah dalam hal ini BPJPH harus bekerja sama tetap mengacu terhadap fatwa MUI dalam membuat standarisasi kehalalan suatu produk.

“Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 (termasuk huruf c yakni menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk), BPJPH bekerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, LPH dan MUI,” demikian bunyi Pasal 7 UU 33/2014 tentang JPH.

Tetapi sayang, sebagaimana hasil investigasi MUI yang disampaikan Ketua MUI Bidang Fatwa Prof Asrorun Niam Sholeh di Kantor MUI pada Senin sore (30/9/2024), penetapan halal produk tersebut ternyata tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal, dan tanpa penetapan kehalalan melalui Komisi Fatwa MUI. [] Zainul Krian

Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini: