Ada Potensi Mandulkan KPK Melalui UU BUMN

MediaUmat.info – Ada potensi pemandulan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN). Itulah benang merah dari pernyataan Ketua IM57+ Institute Lakso Anindito dalam siniar UU BUMN Disahkan, KPK Terancam Tak Bisa Tangkap Direksi dan Komisaris BUMN yang Korupsi, Jumat (9/5/2025) di kanal YouTube Novel Baswedan.
Paling tidak potensi itu terlihat dalam dua pasal baru. Pertama, Pasal 9G UU BUMN yang menyebutkan anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan penyelenggara negara.
Menurut Lakso, perubahan ini mengebiri kewenangan KPK secara sistematis. Sebab menurut Pasal 11 UU KPK, lembaga antirasuah ini hanya dapat menangani perkara yang melibatkan penyelenggara negara atau aparat penegak hukum.
“Pasal 11 itu secara khusus membatasi kewenangan KPK hanya pada penyelenggara negara dan penegak hukum. Ini yang sekarang dimanipulasi melalui klausul baru di UU BUMN,” tegas Lakso.
Jika dibiarkan, regulasi ini menjadikan KPK lembaga tanpa taring. Padahal, Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK selama ini menjadi instrumen paling efektif dalam membongkar korupsi struktural yang kerap tersembunyi di balik jabatan elite.
“OTT itu kekuatan utama KPK. Itu yang ditakuti. Karena OTT bisa membuka semua fakta tanpa bisa dibantah. Ini yang coba dimatikan lewat regulasi baru,” ungkapnya.
Kedua, Pasal 4B UU BUMN yang menyebut kerugian atau keuntungan yang dialami BUMN bukan merupakan kerugian atau keuntungan negara. Padahal, logika hukum dan akuntabilitas publik menegaskan sebaliknya.
“Klausul yang menyebut kerugian BUMN bukan kerugian negara, itu dibuat untuk menghindari pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 2 UU Tipikor,” terang Lakso.
Regulasi lain seperti UU Keuangan Negara dan putusan Mahkamah Konstitusi, sebut Lakso, tetap memosisikan keuangan BUMN sebagai bagian dari keuangan negara. Bahkan Mahkamah Agung melalui SE No. 10/2020 secara eksplisit memasukkan dana BUMN/BUMD ke dalam cakupan tersebut jika bersumber dari APBN, APBD, atau dana publik.
“BPK tetap bisa audit Danantara. Artinya tetap masuk keuangan negara. Jadi ini jelas kontradiktif. Ada dualisme aturan yang berbahaya,” jelas Lakso.
Menurutnya, konsekuensi dari semua itu bukan sekadar teknis, tetapi sangat berdampak pada sistem hukum secara menyeluruh di tubuh BUMN.
Ia juga menegaskan, kontradiksi ini bukan hanya melemahkan upaya pemberantasan korupsi, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum di internal BUMN. Ketika definisi penyelenggara negara dipelintir, maka celah hukum akan dimanfaatkan untuk melarikan diri dari jerat hukum.
“Ini bisa membuat direksi bingung. Saya harus ikut yang mana? Lapor LHKPN atau tidak? Ada konsekuensi hukumnya,” ujarnya.
Lakso menambahkan bahwa selama UU Tipikor dan UU Penyelenggara Negara Bebas KKN (UU No. 28 Tahun 1999) belum diubah, seharusnya KPK tetap bisa bekerja. Namun secara praktis, pasal-pasal multitafsir seperti ini akan jadi alat para pelaku untuk menghindari jerat hukum.
“Selama UU Tipikor tidak berubah, secara teoritis masih bisa dijerat. Tapi kalau penegaknya ragu, maka pelanggaran akan makin masif. Yang rugi negara dan rakyat,” tegasnya.
Bagi Lakso, bahaya terbesar bukan pada undang-undangnya semata, tetapi pada niat di balik pembentukannya.
Yang lebih mengkhawatirkan, lanjut Lakso, revisi regulasi ini sangat mungkin bukan sekadar produk kelemahan legislasi, tapi justru bagian dari desain politik untuk melindungi kekuasaan dari jerat hukum.
“Kalau ini dibiarkan, maka aktor intelektual korupsi tidak akan pernah tersentuh. Penegakan hukum hanya jadi alat tukar kekuasaan,” tandasnya.[] Zainard
Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat