Mediaumat.id – Terkait rencana pemerintah yang akan menaikkan harga solar, pertalite, gas elpiji dan tarif listrik, sejumlah tokoh masyarakat, ulama, dan advokat se-Jabodetabek menyatakan ada potensi kebohongan publik yang menciptakan keonaran di tengah-tengah masyarakat.
“Saya ingin sampaikan, potensi adanya kebohongan publik yang menciptakan keonaran di tengah-tengah masyarakat, yang terancam pidana dengan 10 tahun penjara, dikaitkan dengan rencana kenaikan harga BBM, khususnya jenis pertalite sebagaimana juga sebelumnya juga sudah dinaikkan harga pertamax dari 9.000 menjadi 12.500 atau 13.000 satu liternya,” ucap Advokat Ahmad Khozinudin mewakili rombongan di depan Gedung Kementrian ESDM, Selasa (26/04/2022), yang disiarkan lewat kanal Youtube Mimbar Tube Channel.
Menurutnya, yang menjadi potensi kebohongan publik yang dilakukan oleh pemerintah adalah bahwa setiap kali ada rencana kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak), baik yang telah terjadi yakni pertalite, pertamax, dan juga yang akan ditempuh oleh pemerintah yakni pertalite juga solar dan termasuk masalah rencana kenaikan gas LPG 3 kg, pemerintah selalu bernarasi tentang kenaikan harga minyak mentah dunia.
“Seolah-olah hal itulah yang menjadi tekanan bagi pemerintah agar harga BBM ini disesuaikan dengan harga keekonomian, sehingga tidak membebani pemerintah,” kesalnya.
Dan kemudian, lanjutnya, selalu saja narasi yang disampaikan adalah pemerintah telah memberikan subsidi, yang subsidi itu selalu diasumsikan berasal dari besaran nilai harga jual pasar atau harga pesaing dari Pertamina dengan harga jual tertinggi yang telah ditetapkan Pertamina.
“Misalkan, Direktur Pertamina yang lalu menyampaikan, bahwa semestinya harga pertamax pesaing itu, menjual di kisaran harga 16 ribu /liter, tetapi Pertamina masih menjual dengan harga 13 ribu/liter, itu artinya ada subsidi dari pemerintah sebesar 3 ribu/liter,” ujarnya.
Problem dan masalah klasiknya adalah Pertamina tidak pernah membuka berapa biaya produksi yang dikeluarkan oleh Pertamina, biaya produksinya, biaya modalnya. “Karena bagi rakyat tentu saja ya, nomenklatur subsidi itu harus dikaitkan dengan tambalan terhadap modal atau satu anggaran yang dialokasikan untuk menutupi kekurangan biaya produksi. Tetapi kalau nomenklatur subsidi itu dikaitkan dengan potensi keuntungan yang berkurang, tentu ini bukan subsidi untuk rakyat, tapi ini sebenarnya kerakusan pemerintah, kerakusan negara yang tidak mau menjalankan fungsi melayani dan melindungi rakyat yang menyerahkan harga BBM yang merupakan kebutuhan pokok yang paling asasi karena ini sektor energi, ke harga internasional atau harga pasar,” paparnya.
Jadi, sambungnya, “Sekali lagi harus jelas juga, yang nomenklatur subsidi itu apa? Definisi subsidi yang dimaksud pemerintah, karena dalam benak rakyat yang dinamai subsidi itu adalah tambalan terhadap biaya modal bukan mengurangi potensi keuntungan.”
Ia menerangkan, tokoh, ulama, dan advokat se-Jabodetabek sudah pernah menyampaikan bahwa berdasarkan hitung-hitungan, biaya produksi 1 liter jenis pertamax itu adalah di kisaran Rp4.757, dan kalaulah diasumsikan semua minyak itu diimpor, ada tambahan biaya 3 ribu, berarti di kisaran 7 ribu atau 8 ribu/liter.
“Dan tentu saja, dengan harga 8 ribu/liter, Pertamina menjual pertamax dengan harga 9 ribu, masih ada keuntungan, dan itu yang kemudian kita pertanyakan,” imbuhnya.
Menurutnya, sampai hari ini, pemerintah tidak pernah terbuka. Padahal, Pertamina itu, selain mengurusi di sektor hilir (eceran), dia juga penambang (mengebor).
“Dan mengebor itu, dari bumi. Bumi itu diciptakan oleh Allah SWT. Minyak itu adalah harta yang oleh Allah SWT disebutkan sebagai al-milkiyah al-‘aamah, harta milik umum yang semestinya tidak boleh dikomersialisasi, dan tugas fungsi negara dalam mengelola sektor energi yang masuk katagori al-milkiyah al-‘aamah memberikan pelayanan,” pungkasnya.[]‘Aziimatul Azka