Oleh: Nindira Aryudhani, S. Pi, M. Si (Koordinator LENTERA)
JKDN, singkatan dari Jejak Khilafah di Nusantara. Ada apa dengan film ini? Pentingkah?
Lantas, apa iya, sejarah kita cukup ditelusuri melalui keberadaan artefak kesultanan-kesultanan Islam? Bukankah nenek moyang kita itu manusia kera yang berjalan tegak? Pun para penganut animisme dan dinamisme? Tidakkah kearifan dan budaya lokal ini yang lebih layak kita tunaikan?
Lalu, bukankah yang membuat kita pernah layak disebut bangsa besar adalah karena Sriwijaya dan Majapahit yang pernah berkuasa? Dan, apa benar kesultanan Islam itu pernah ambil peran menjadi bagian kekuatan superpower dunia?
Wahai umat, bandul sejarah sedang berayun! Jangan sampai ayunan bandul itu menampar kita tanpa kita punya kesempatan menyadari kebutaan sejarah. Jangan sampai terlewat hingga tak sempat ambil peran. Pupuklah kerinduan, bahwa Khilafah adalah janji Allah yang akan segera tegak.
Sungguh, JKDN adalah sebuah film langka yang akan sangat membuka cakrawala pemikiran baru dan pengetahuan sejarah kita. Film ini fokus menyusuri jejak keberadaan Khilafah di Nusantara demi menyapu debu-debu keraguan kita selama ini tentang awal mula masuknya Islam ke kawasan zamrud khatulistiwa.
Ketahuilah, identitas umat Islam adalah identitas terbaik yang pernah ada. Karena garansinya datang langsung dari Allah SWT, sebagaimana firman-Nya:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَّهُم مِّنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (TQS Ali Imron [03]: 110).
Ketika teasernya diluncurkan pada awal Agustus lalu, film JKDN begitu menyedot perhatian khalayak di pelosok negeri ini. Di tengah keterpurukan umat dalam pandemi Covid-19, yang diperburuk oleh ancaman krisis ekonomi dan juga krisis pangan, film ini hadir menggali religiusitas umat Islam. Sekaligus membangkitkan perasaan umat, ketika di satu sisi pandemi sedang menggerogoti motivasi dan makna kehidupan.
Belum lagi dengan tindak-tanduk rezim yang begitu abai dengan keselamatan jiwa rakyatnya, membuat rakyat kian terjebak dalam trauma psikis. Sektor kesehatan yang dikapitalisasi, semakin mengungkap keserakahan rezim.
Ini ditambah parah oleh adanya PHK yang mengular, WFH rasa PHK, makin besarnya tekanan sosial di daerah episentrum wabah, derivasi implikasi sekolah daring, ancaman kelaparan, stunting, hingga krisis pangan; dan lain sebagainya. Semua ini nyata terjadi di level masyarakat akar rumput, membuat mereka semakin terpekur beku.
Berharap pada rezim, seringkali berbuah prank. Lisan mereka tak ubahnya tong kosong yang nyaring bunyinya. Karena kebijakan yang dilahirkan, blunder belaka, alih-alih tepat sasaran. Hal ini hanya kian menegaskan bahwa rezim sangat minim dalam berniat baik untuk memikirkan urusan rakyat.
Dan sejatinya, Covid-19 dengan segala keganasannya, telah menampilkan fenomena bahwa nyawa manusia bagai tak berharga kala bertarung dengannya. Begitu mudah bagi Allah SWT, Sang Pemilik Jiwa, untuk berkehendak pada makhluk-Nya. Tersebab hal ini, semestinya menjadi pelecut pemikiran kita, bahwa hidup memang untuk melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Firman Allah SWT:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (TQA Adz-Dzariyat [51]: 56).
Layaknya benih kehidupan di tengah gersangnya kehidupan, film ini pun tak luput dari ragam pro dan kontra. Mulai dari salah seorang narasumber yang mengaku tidak dimintai izin akan pernyataannya yang dikutip dan ditayangkan di film, adanya pihak yang menuding bahwa Khilafah adalah ide milik kelompok Islam tertentu, dan sebagainya, nyatanya tetap tak mengurangi keingintahuan umat tentang jati diri nenek moyangnya. Yang oleh sejarah versi sekuler, kemuliaan masyarakat Nusantara telah dikubur bersama keterhinaan dunia Islam pasca-keruntuhan Khilafah Utsmaniy, sejak 1924 hingga menjelang seabad keruntuhannya itu pada detik ini.
Demikianlah, film JKDN ini turut membangun kesadaran umat, bahwa hanya dengan membela keyakinan mereka kepada Allah SWT sajalah yang menjadikan hidup lebih bermakna. Berawal dari identitas kita selaku masyarakat muslim menuju cita-cita persatuan politik global umat Islam, film JKDN adalah salah satu langkah menguatkan keyakinan sebagai hamba Allah.
Tentu masih begitu tajam terpatri dalam memori, bahwa pemisahan agama dari kehidupan adalah racun abadi bagi dunia Islam. Sekularisme yang terduplikasi menjadi nasionalisme dan patriotisme, sungguh luar biasa berbisa membunuh identitas ummatan wahidan (umat Islam yang satu).
Islam adalah ideologi penegak identitas dan persatuan kaum muslimin. Sejak diturunkan oleh Allah SWT kepada Rasulullah Muhammad saw, Islam tak hanya memberikan spirit kepada Nusantara dan kaum muslimin yang tinggal di wilayah tersebut. Lebih dari itu, Islam mewarnai dan memberi mereka karakter yang unik. Islam-lah yang telah mengeluarkan masyarakat Nusantara dari kegelapan, dari ritual paganisme menuju penyembahan kepada Allah SWT semata.
Islam juga melepaskan warga Nusantara dari belenggu kesukuan dan kebangsaan, menjadi ikatan akidah Islam dan ukhuwah Islamiyah, sebagai bekal menuju persatuan umat Islam global. Islam juga-lah yang mengatur dan mengajak kaum muslimin Nusantara untuk secara praktis bernaung di bawah satu kekuasaan politik Islam, yakni Khilafah Islamiyah.
Ajaran Islam telah memompa semangat perlawanan jihad fi sabilillah terhadap penjajahan bangsa Eropa. Khilafah yang saat itu berpusat di Istanbul, Turki, tidak bisa dilalaikan jejaknya dalam membantu kesultanan-kesultanan Islam mengusir para penjajah dari wilayah Nusantara.
Ini semua fakta sejarah yang terlalu pekat untuk dihapus. Terlalu tajam untuk dikaburkan. Jejak Khilafah di Nusantara itu begitu nyata. Kesultanan-kesultanan Islam Nusantara di masa lalu telah menorehkan kiprah politik internasional mereka yang sangat erat hubungannya dengan Khilafah Turki Utsmaniy, bahkan Khilafah era sebelum Utsmaniy.
Karena itu, menyatakan bahwa Khilafah adalah ide asing, maka sungguh demokrasi itu jauh lebih asing. Demokrasi bahkan tiada tuntunannya dari Sang Pencipta langit dan bumi, Allah SWT. Pun, upaya penolakan terhadap syariat Islam dan keberadaan negara Khilafah, adalah tindakan ahistoris. Termasuk distorsi istilah “Khilafah” dari buku-buku pelajaran di sekolah, adalah benar-benar upaya lancang yang tidak menginginkan umat Rasulullah saw ini kembali kepada kemuliaannya.
Benarlah, bahwa tiada alasan untuk tidak kita segerakan firman Allah SWT berikut ini:
يُرِيدُونَ أَن يُطْفِئُوا نُورَ اللَّهِ بِأَفْوَاهِهِمْ وَيَأْبَى اللَّهُ إِلَّا أَن يُتِمَّ نُورَهُ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُونَ (٣٢) هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَىٰ وَدِينِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ (٣٣)
“Mereka berkehendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya, walaupun orang-orang yang kafir tidak menyukai (32). Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai (33).” (TQS At-Taubah [09]: 32-33).
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَىٰ تَنفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
“Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” (TQS Adz-Dzariyat [51]: 55).[]