Oleh: Fajar Kurniawan (Analis Senior PKAD)
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial yang selanjutnya disingkat BPJS adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program jaminan sosial. Sedangkan Jaminan sosial itu sendiri mengandung artisalah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Dan secara Garis besar bahwa BPJS ini sebenarnya memiliki tujuan yang sangat mulia yakni mewujudkan terselenggaranya pemberian jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap Peserta dan atau anggota keluarganya. ( UU No.24 tentang BPJS 2011).
Pemerintah berencana menutup defisit keuangan BPJS Kesehatan. Bailout itu dilakukan agar perseroan tidak bangkrut. BPJS Kesehatan merupakan badan yang menjamin biaya pengobatan para anggotanya. Anggota perseroan tidak lain adalah Warga Negara Indonesia (WNI) yang dipungut iuran setiap bulan. Pada 2017, total klaim yang dicairkan BPJS Kesehatan mencapai Rp 84 triliun. Sedangkan, iuran yang diterima hanya Rp 74,25 triliun. Dari angka itu, maka terjadi defisit sekitar Rp 9,75 triliun. Adapun BPJS Kesehatan mencatat, terdapat tiga jenis penyakit yang menyumbang pembiayaan terbesar terhadap klaim perusahaan. Ketiga jenis penyakit tersebut adalah operasi katarak, bayi baru lahir dan rehabilitasi medik. Nilai klaim dari ketiga jenis kasus tersebut mencapai Rp 4,81 triliun. (https://www.cnbcindonesia.com/market/20180807113750-17-27347/mengapa-bpjs-kesehatan-terancam-bangkrut-dan-butuh-bailout)
Namun apakah sampai saat ini BPJS menjadi kebijakan tepat? salah satu sistem yang perlu kita perhatikan bahwa sangat sulit sekali bagi rakyat Indonesia ini untuk mendapatkan kartu BPJS tersebut. Seperti yang kita tau bahwa saat ini masyarakat dibuat bingung dengan alur BPJS. Namun menyoal lebih dalam kebijakan BPJS, menurut Asih dan Miroslaw dari German Technical Cooperation (GTZ), LSM yang berperan aktif membidani kelahiran JKN:
“Ide dasar jaminan kesehatan sosial adalah pengalihan tanggung jawab penyelenggaraan pelayanan kesehatan dari Pemerintah kepada institusi yang memiliki kemampuan tinggi untuk membiayai pelayanan kesehatan atas nama peserta jaminan sosial.” (Lihat: www.sjsn.menkokesra.go.id).
Sistem JKN oleh BPJS saat ini mengalihkan tanggung jawab berupa penjaminan kesehatan dari pundak negara ke pundak seluruh rakyat yang memang telah diwajibkan menjadi peserta JKN.
Dengan demikian negara lepas tangan. Pasalnya, jaminan kesehatan yang merupakan hak rakyat dan seharusnya menjadi tanggung jawab negara akhirnya berubah menjadi kewajiban rakyat. Rakyat dipaksa saling membiayai pelayanan kesehatan di antara mereka melalui sistem JKN dengan prinsip asuransi sosial. Saling menanggung itulah yang dimaksudkan dengan prinsip kegotongroyongan.
Istilah “jaminan kesehatan” perlu ditelaah. Pasalnya, yang ada bukan jaminan kesehatan, tetapi asuransi sosial kesehatan. Jaminan dengan asuransi sosial jelas berbeda. Pasal 19 ayat 1 UU SJSN menegaskan sistem JKN diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial yaitu: suatu mekanisme pengumpulan dana yang bersifat wajib yang berasal dari iuran guna memberikan perlindungan atas risiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya (Pasal 1 ayat 3).
Konsekuensinya, seluruh rakyat wajib membayar iuran/premi bulanan. Meski iuran untuk orang miskin dibayar oleh negara (sebagai penerima bantuan iuran-PBI), hal itu tidak menghilangkan hakikat bahwa seluruh rakyat wajib membayar iuran bulanan. Jadi pada dasarnya JKN sama dengan asuransi pada umumnya. Peserta JKN, yakni seluruh rakyat, baru bisa mendapat pelayanan dari BPJS selama membayar iuran/premi bulanan. Jika tidak bayar, mereka tidak mendapat pelayanan. Jika nunggak membayar, mereka pun dikenai denda 2% perbulan, maksimalnya enam bulan. Lebih dari enam bulan menunggak, pelayanan dihentikan. Bahkan lebih dari itu, karena wajib, mereka yang tidak membayar iuran akan dijatuhi sanksi, yakni tidak akan mendapat pelayanan administratif seperti pembuatan KTP, KK, paspor, sertifikat dsb.
Jadi dalam JKN, rakyat bukan dijamin pelayanan kesehatannya. Faktanya, rakyat diwajibkan membayar iuran tiap bulan, baru mereka mendapat layanan. Jika tidak membayar lebih dari enam bulan, mereka tidak dilayani dan bahkan dijatuhi sanksi.
Sistem JKN masih mengadopsi pendekatan diskriminatif alias tidak adil. Contoh: ada pembedaan antara peserta PBI dan non-PBI. Sistem JKN juga mengenal pembagian kelas: kelas III, II dan I; masing-masing dengan iuran bulanan berbeda dan layanan berbeda. Itu artinya, JKN menganut prinsip pemberian pelayanan berdasarkan kemampuan bayar peserta atau status ekonomi peserta. Prinsip ini merupakan watak komersial yang dianut oleh lembaga bisnis.
Watak itu makin kental karena SJSN dan JKN ini menghimpun dana rakyat untuk investasi. Atas nama SJSN dan JKN, ratusan triliun dana rakyat dihimpun atas nama iuran/premi asuransi sosial yang bersiat wajib. Sebagian dana itu wajib diinvestasikan oleh BPJS. Pasalnya, sesuai UU SJSN dan BPJS, investasi dana asuansi sosial itu bersifat mandatori, artinya wajib, tentu dengan segala konsekuensi sebuah investasi. Hingga saat ini saja, total investasi oleh BPJS Kesehatan mencapai lebih dari 10 triliun rupiah.
Jaminan kesehatan mestinya diberikan oleh negara secara bebas biaya dan berkualitas untuk seluruh rakyat tanpa kecuali dan tanpa diskriminasi. Pertanyaannya, apakah jaminan kesehatan seperti itu mungkin untuk diwujudkan saat ini? Jawabannya, sangat mungkin, jika mengadopsi konsep yang berkeadilan, yaitu Islam.