Mediaumat.id – Analis Mutiara Umat Institute (MUM) Nahdoh Fikriyyah Islam menyebutkan terdapat agenda sekularisasi negeri-negeri Muslim yang dibawa dalam Piala Dunia 2022 yang diselenggarakan di Qatar.
“Ada upaya sekularisasi negeri-negeri Muslim dalam penyelenggaraan Piala Dunia 2022 di Qatar,” ungkapnya dalam acara Mumtaz Pol ke-4: Serba-serbi Piala Dunia 2022 di Qatar, Selasa (26/11/2022) di YouTube TintaSiyasi Channel.
Secara faktual pelaksanaan Piala Dunia yang memang sangat jauh dari ajaran Islam. Secara lisan, ada pesan kuat agar sekularisasi itu tetap berlangsung bukan hanya dalam perhelatan sepak bola dunia saja, salah satunya tergambar dalam kata kunci sekularisasi yang disampaikan saat pembukaan perhelatan tersebut. “Nah, yang tidak kalah penting menurut saya satu kata kunci, dialog antara Morgan Freeman dan Ghanim Al-Muftah. Ada satu percakapan yang menggelitik saya,” ujarnya.
Saat Morgan bertanya, “How can we make it last longer just today? (Bagaimana agar hal seperti ini tidak hanya sampai di sini, tetapi bisa lebih lama lagi?).” Lalu Ghanim al-Muftah menjawab, “With tolerance and respect we can live together under one big home in Arabic (Dengan [rasa semangat] toleransi dan saling menghargai, kita bisa hidup bersama dalam satu atap besar, yaitu Arab).”
“Artinya semacam to spread western thought (untuk menyebarkan pemikiran Barat) atau western ideology (ideologi Barat). Ya, sekulerisasi,” imbuhnya.
Ia mengatakan, pelaksanaan bola dunia di negeri Muslim, bukanlah tanpa tujuan. Karena terbukti dari beberapa isu yang diangkat. Padahal sebelumnya, perhelatan bola dunia tidak pernah mengangkat isu-isu miras, LGBTQ+ dan juga toleransi, sampai membacakan dalil Al-Qur’an yang diklaim sebagai bukti bahwa Islam agama yang toleran terhadap segala perbedaan yang ada di dunia. Tidak terkecuali budaya dan pemikirannya.
“Pelaksanaannya di Qatar, terbacakan memiliki tujuan untuk menyekulerkan negeri Arab khususnya. Biasanya, perhelatan bola tidak menghembuskan isu-isu sensitif sosial seperti miras, LGBTQ+, karena dianggap tidak perlu diperdebatkan alias dimaklumi. Wajar saja sebenarnya, karena pelaksaan bola dunia selama ini masih berada di negara-negara minoritas Muslim bukan negeri Muslim seperti Qatar,” ungkapnya.
Walaupun negara Qatar sendiri sesungguhnya merupakan negara yang dari model pemerintahannya sudah sekuler, cuma bagi Barat itu masih sangat tidak fair. “Jika tanah Arab atau Qatar menjunjung toleransi kudu menerima segala hal yang berhubungan dengan ide-ide Barat. Totalitas alias kafah. Itulah sebenarnya misi rahasia Barat di balik perhelatan bola dunia di Qatar,” katanya.
Ia menilai, pemerintah Qatar sebenarnya tidak mengatakan langsung menolak LGBTQ+. Hanya melarang pengibaran simbol-simbol LGBTQ+. Pemerintah Qatar mengatakan siapa saja welcome masuk Qatar. Tetapi juga harus mengikuti budaya setempat. “Artinya, pelaku LGBTQ+ sendiri kalau tidak bawa simbol pelangi ya, boleh datang ke Qatar. Lalu soal miras, kan cuma dilarang minum selama pertandingan berlangsung. Itu sudah dijelaskan oleh Presiden FIFA Gianni Infantino. Apa masalahnya jika tidak minum beberapa jam saja? Begitu penegasannya,” beber Analis Mutiara Umat Institute itu.
Menurut dia, lirik-lirik lagu yang diperdengarkan dalam acara pembukaannya juga seputar paham-paham Barat. Seperti kata love, respect, and dreamers. Juga nyanyian, tarian, hura-hura, campur-baur bebas yang disebut spektakuler adalah lifestyle Barat. Tetapi, terlihat tidak berbahaya karena dipoles dengan penyanyi Arab yang bersorban, berjubah, berjenggot pakai bahasa Arab pula. Jadilah Arab kebarat-baratan.[] Alfia Purwanti