Acara KAMI Dibubarkan Polisi, Begini Respons Prof. Suteki

Mediaumat.news – Pembubaran acara KAMI (Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia/oposisi) ketika mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo sedang berpidato di podium dengan alasan di luar gedung ada kelompok KITA (Koalisi Indonesia Tetap Aman/pro rezim) yang berdemo menginginkan acara tersebut dibubarkan mendapatkan kecaman dari Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.

“Dalam kasus ini, seharusnya polisi sebagai penegak hukum tidak membubarkan acara yang telah berlangsung, melainkan menjaga, mengayomi, dan melindungi pihak yang sedang menjalankan hak asasi yang telah dijamin oleh UUD NKRI 1945. Tugas polisi adalah menghalau kelompok yang berusaha menghadang pelaksanaan hak yang dijamin oleh konstitusi, bukan membubarkan acara KAMI,” tegasnya kepada Mediaumat.news, Selasa (29/9/2020) menanggapi kejadian di Surabaya kemarin.

Ia menyebutkan meskipun Polri telah mempunyai tugas menegakkan hukum, polisi tidak boleh menjadikan kewenangan dan aturan hukum sebagai alat gebuk terhadap rakyat yang sedang menjalankan hak konstitusionalnya.

“Maka dalam hal ini penegakan hukum pun harus dilakukan secara progresif, yakni penegakan hukum yang memperhatikan konteks, pelaku, dan segala faktor yang meliputinya tanpa melakukan pemihakan apalagi turut serta berkompetisi,” bebernya.

Menurutnya, KAMI hadir sebagai sparing partner rezim yang sekarang berkuasa hendaknya juga tidak diposisikan sebagai lawan yang membahayakan negara. Mereka punya hak konstitusional yang harus dilindungi. Kegiatannya harus diayomi oleh polisi sebagai garda terdepan dalam harkamtibmas dan penegakan hukum.

“Polisi harus dapat menjamin agar seseorang dan atau kelompok orang mampu memenuhi hak asasinya, termasuk dalam menyatakan hak berkumpul dan pendapat melalui acara demo dari awal hingga acara berakhir,” ujarnya.

Polisi Berpihak?

Berlatarbelakang adanya dugaan keterlibatan oknum polisi dalam ajang pemilu presiden 2019 yang berpihak pada petahana, menurut Prof. Suteki, tampaknya hal itu meninggalkan luka dan trauma bagi sebagian rakyat sehingga khawatir polisi terjebak pada pilihan antara KAMI (oposisi) dan KITA (pro rezim).

Khawatir polisi tidak mampu menjamin pengayoman, perlindungan terhadap para pihak bahkan terjebak ikut berkompetisi. Hal ini tentu tidak boleh dijalankan karena dapat mengarah kepada pembentukan police state (negara polisi).

“Pak Polisi, Anda tidak ingin demokrasi di negeri ini bunuh diri kan? Maka, jangan ikut kompetisi. Sekali lagi kita teriakkan yel-yel: ‘Tugasmu mengayomi… Tugasmu mengayomi… Pak Polisi… Pak Polisi jangan ikut kompetisi…!’” pungkasnya.[] Joko Prasetyo

Share artikel ini: