Abuse Power Staf Milenial Jokowi, Cukup Minta Maaf?

Orang-orang di sekitar Presiden Jokowi sepertinya tak lepas dari kontroversi. Kali ini datang dari staf khusus milenial, Andi Taufan Garuda Putra. Staf milenial yang pengusaha itu ketahuan membuat surat yang ditujukan kepada semua camat di Indonesia dengan menggunakan kop resmi Sekretariat Kabinet RI. Masalahnya isi surat itu berisi permohonan kerjasama perusahaannya sendiri, PT Amartha Mikro Fintek, untuk menjadi relawan COVID-19 dalam program Desa Lawan COVID-19.

Surat itu merupakan permohonan agar para camat mendukung edukasi dan pendataan kebutuhan alat pelindung diri (APD) demi melawan wabah virus corona ( Covid-19) yang dilakukan oleh perusahaan pribadi staf khusus milenial itu, yakni PT Amartha Mikro Fintek (Amartha).

Menyikapi hal ini, Anggota Ombudsman Republik Indonesia Alvin Lie menilai Andi Taufan Garuda Putra terindikasi melakukan malaadministrasi setelah mengirim surat atas nama dirinya dengan kop Sekretariat Kabinet.

Menurut dia, Andi Taufan telah melampaui kewenangannya sebagai staf khusus milenial presiden. Alvin menjelaskan, tugas staf khusus presiden adalah memberikan masukan kepada presiden, tapi tidak menyurati memberitahukan kepada camat atau instansi lain tentang adanya perusahaan untuk lakukan pendataan, dan lain-lain.

Alvin juga mempertanyakan kewenangan Taufan dapat menulis surat menggunakan kop surat Sekretariat Kabinet, karena itu merupakan pelanggaran berat bila surat tersebut keluar tanpa izin Sekretaris Kabinet yang instansinya dicatut dalam surat yang diteken Taufan itu.

Sementara itu Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, memberikan peringatan lebih keras lagi. Menurutnya surat tersebut sarat akan konflik kepentingan karena perusahaan yang ditunjuk adalah milik Andi Taufan pribadi.

Padahal, sebagaimana bunyi Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas KKN, penyelenggara negara dilarang melakukan tindakan yang bermuatan konflik kepentingan.

Jika potensi korupsi itu benar terjadi, lanjut Feri, hukuman yang diterima Andi bisa lebih berat karena dipraktikkan di tengah situasi bencana. “Ancamannya bisa 20 tahun atau hukuman mati karena dianggap memanfaatkan keadaan mencari keuntungan di tengah penderitaan publik luas,” ujar dia.

Setelah gaduh di media sosial, staf khusus milenial Andi Taufan segera meminta maaf. “Saya mohon maaf atas hal ini dan menarik kembali surat tersebut,” kata Andi dalam keterangan tertulis yang diterima reporter Tirto, Selasa (14/4/2020).

“Mohon maaf atas kegaduhan dan ketidaknyamanan yang timbul,” imbuhnya mengulangi. Menurut Andi, surat itu bersifat pemberitahuan: perusahaannya mendukung program Desa Lawan COVID-19. Program itu diinisiasi Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.

Menurutnya, dukungan Amartha murni atas dasar kemanusiaan dan dengan biaya Amartha dan donasi masyarakat yang akan dipertanggungjawabkan secara transparan dan akuntabel. “Dukungan yang diberikan dilakukan tanpa menggunakan anggaran negara, baik APBN maupun APBD,” Kata Andi.

Sementara itu pihak istana melalui Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Donny Gahral menyebut Staf Khusus Presiden Andi Taufan Garuda Putra mendapat teguran keras.

“Yang bersangkutan sudah ditegur keras dan sudah meminta maaf secara terbuka juga melalui surat yang sudah diviralkan, yang kita tahu belakangan ini,” kata Donny saat dihubungi. Karena sudah ada permintaan maaf, Donny menyebut tak perlu ada sanksi lebih jauh yang diberikan kepada Andi Taufan.

Komentar:

Mengherankan bila orang-orang di sekitar Presiden Jokowi begitu leluasa mengambil tindakan maladministrasi sesuka mereka. Apakah mereka tak memahami administrasi Sekretariat Kabinet? Lalu mengapa Sekretariat Kabinet membiarkan seorang staf khusus presiden bebas menggunakan surat berkop resmi Sekretariat Kabinet dan ditujukan langsung kepada pejabat daerah? Siapa yang memberi izin? Begitu luaskah kekuasaan orang-orang di sekitar presiden sehingga dapat menabrak administrasi, padahal berpotensi terjadinya abuse power?

Andaikan surat itu tidak bocor ke publik dan diramaikan oleh banyak kalangan, apakah surat itu akan ditarik kembali, dan pelakunya mendapat teguran? Dan apakah benar tak melibatkan anggaran negara sebagaimana pengakuan pelaku, bila tak bocor ke publik?

Lebih mengherankan lagi tidak ada sanksi yang diberikan melainkan hanya teguran ‘keras’, padahal kesalahan yang dilakukan amatlah fatal. Bahkan ada kesan istana terus melindungi pelaku, dengan mengatakan memberhentikan pelaku adalah hak prerogatif presiden.

Insiden ini menguatkan opini publik bahwa pemberantasan korupsi di era Jokowi terus memburuk. Setelah pelemahan KPK secara terstruktur dan sistematis melalui revisi UU dan mengangkat orang-orang yang ditengarai bermasalah menjadi komisioner KPK, lalu usulan pembebasan napi koruptor karena dikhawatirkan terpapar wabah Covid-19, kini tak ada tindakan tegas dalam kasus surat sakti staf khusus milenial. Ini melengkapi kenyataan bahwa perang melawan korupsi yang nyaring dalam kampanye pilpres lalu hanya narasi hampa.[]IJ/LS

Share artikel ini: