Mediaumat.id – Kondisi negeri-negeri di Nusantara yang terjajah pada pertengahan abad 19, telah membuat gundah Sultan ‘Alauddin Manshur Syah, penguasa Kesultanan Aceh Darussalam, hingga ia menulis surat kepada panutan negerinya, Khilafah Utsmaniah, untuk mengabarkan keterpurukan Nusantara kepada Khilafah Utsmaniah kala itu.
“Ia kemudian menulis surat berbahasa Arab pada 17 Maret 1850 untuk mengabarkan keadaan negeri-negeri Islam di Nusantara yang berada dalam penjajahan Belanda,” ungkap Ahkmad Adiasta, narator film dokumenter sejarah Islam Jejak Khilafah di Nusantara 2 (JKDN 2) yang premier pada Rabu (20/10/2021) secara daring.
Sebelumnya, penting diketahui, gelombang kejut yang mengubah keseimbangan kekuatan di antara bangsa-bangsa dan memunculkan tatanan imperialisme Eropa yang lebih digdaya mencengkeram dunia, termasuk Indonesia dengan Belandanya, dipicu oleh dua peristiwa kembar, Revolusi Perancis (1789 – 1799) dan Revolusi Industri yang dimulai di Inggris (1760 – 1840).
Nestapa di Nusantara, bermula sejak masuknya satu golongan Nasrani yang bernama Belanda ke Pulau Jawa, kala itu disebut juga dengan Pulau Sunda. “Mereka memasuki Pulau Sunda dan menetap di dalamnya setelah dengan penuh tipu muslihat dan makar mereka membeli perkenan sultan dengan jumlah tertentu dari penghasilan setiap tahunnya,” ujar narator mengutip isi surat tersebut.
Setelah memantapkan diri di Sunda, lanjut narator, barulah Belanda mengurangi hak sultan dalam jumlah banyak di setiap tahunnya. Sampai kemudian, Belanda berhasil menguasai pulau secara keseluruhan berikut seluruh negerinya pula.
“Mereka mengangkat sultan-sultan dari pihak mereka. Orang yang bersedia tunduk patuh kepada mereka dalam segala sesuatu, mereka pertahankan di atas tahta kerajaan dengan aturan dari pihak mereka,” lanjutnya.
Lebih dari itu, beber narator, penjajah Belanda juga mempermudah orang yang tunduk tersebut untuk mengendalikan rakyatnya dan memberikannya kekuasaan hanya untuk merendahkan serta memperkerjakan rakyat dengan berbagai pekerjaan berat sepanjang hari.
Di sisi lain, lanjutnya, orang yang tidak mau patuh kepada Belanda, dibuang ke tempat yang jauh. “Mereka juga memberi kewenangan untuk rakyat melalimi sesamanya. Sehingga mereka berhasil merendahkan seluruh rakyat pribumi,” tandasnya.
Dengan merekrut sebagian rakyat menjadi tentara, sambung narator, Belanda dengan leluasanya mengenakan denda dalam jumlah ditentukan pada sebagian lain, laki-laki dan perempuan, yang telah dijadikan kuli pikul atau bahkan yang sudah diperkerjakan untuk menanam dan mencabut di kebun-kebun.
Dilarang Haji
Di dalam surat tersebut, ternyata juga mengabarkan kesedihan. Betapa rakyat dilarang menunaikan haji dan pergi ke kedua tanah haram yang mulia dengan ketentuan. Yakni, Belanda tidak akan memberikan izin perjalanan kepada orang-orang yang hendak menunaikan haji sebelum membayar 50 riyal franc. “Orang yang tidak membayar, dan pergi haji secara sembunyi-sembunyi, maka pada waktu pulang ia akan dikenakan bayaran berkali-kali lipat dari itu,” imbuh narator.
Bahkan dalam urusan admistrasi pemerintahan, diketahui, Belanda sudah terlebih dahulu memusatkannya di Bandar Batavia berikut para jenderal dengan hak-hak mereka yang tidak dapat diganggu gugat.
Masih dikutip dari surat tersebut, dengan segala kepentingannya, penjajah Belanda ternyata juga telah mengambil bandar-bandar di Pulau Borneo, seperti Bandar Pontianak, Banjar dan Sambas.
Di Pulau Sumatera, Belanda bahkan sudah mengambil Bandar Padang, Bengkulu, Pariaman dan Natar. “Mereka mengambil Bandar Palembang. Mereka mengambil Sultan Palembang dan membuangnya. Rakyat Palembang direndahkan dan diperbudak,” tutur narator membacakan isi surat itu.
Bandar-bandar yang kala itu sebenarnya memiliki sultan dengan panggilan khusus, maharaja, yang berpusat pemerintahan di Pagaruyung pun tak luput dari makar Belanda. Lantas, dengan tipu muslihat tersebut, penjajah Belanda berhasil mengambil maharaja dan membuangnya ke Bandar Batavia.
Sementara, di tempat yang lain, penjajah Belanda juga membunuh ulama serta melarang para sarjana Islam melakukan aktivitas keilmuan. Malah, anak-anak rakyat disuruh mempelajari buku-buku penjajah untuk kemudian menggalakkan orang-orang agar saling mempermalukan.
“Mereka melecehkan kaum wanita secara terang-terangan, dan merendahkan orang-orang Islam, laki-laki maupun perempuan. Yang mereka maui tidak lain adalah agar orang-orang Islam keluar dari agama Islam sekaligus,” terang narator.
Terakhir, narator mengatakan, dalam surat tersebut tertuang perlakuan-perlakuan Belanda terkait penjajahan yang nyata dan benar-benar dilakukan di Minangkabau. “Itulah yang mereka lakukan di Minangkabau, dan mereka bersiap untuk menyerang kami di Negeri Aceh, Maka dari itu, wajiblah kami memohon izin dari Daulah ‘Aliyyah ‘Utsmaniyyah. Sebab kami terhitung di antara rakyat mereka,” pungkas surat tersebut.[] Zainul Krian