Kaum Buruh Terus Bergerak, Mencari Keadilan
Oleh: Suro Kunto (praktisi perburuhan)
Di tengah implementasi turn key project sebagai dampak investasi dari Cina ke Indonesia, yang menurut sebagian pengamat di lapangan diduga melanggar peraturan yg tertulis di undang-undang ketenagakerjaan. Contoh pelanggaran misalnya tenaga kerja asing yang masuk adalah tenaga kerja yang unskill alias buruh kasar. Yang sesungguhnya pekerjaan tersebut bisa dilakukan oleh tenaga kerja lokal Indonesia. Termasuk keluarnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78/2015 tentang Pengupahan. PP ini telah ditandatangani Presiden Jokowi pada 23 Oktober 2017.
Selain itu, tuntutan upah layak, jaminan lapangan kerja yang memadai dan dihapuskannya sistem alih daya atau outsourcing tampaknya menjadi isu yang rutin diangkat oleh kaum buruh. Kekecewaan terhadap kondisi yang dihadapi buruh makin meningkat, diantaranya menyoal pemberangusan terhadap suara kritis serikat buruh yang semakin meluas, buruh banyak yang di-PHK dan dirumahkan, membanjirnya tenaga asing karena kemudahan masuknya tenaga kerja asing, merajalelanya korupsi.
Kesejahteraan hidup, sebuah tuntutan yang layak dan sederhana, tapi tak mendapat perhatian serius dari orang yang semestinya memperhatikannya, baik pemerintah maupun DPR, tak mampu melahirkan UU yang bisa mengatur agar penghasilan buruh bisa untuk hidup layak.
Terkait tindakan out sourcing, yang didalam UU Tenaga Kerja kita diperhalus kalimatnya menjadi perjanjian kerja waktu tak tertentu, sebuah kalimat problematic dari Undang-undang itu diterbitkan tahun 2003, di zaman Megawati, dan Menteri Numawea, yang mengaku pro-rakyat kecil.
Pengaturan upah hanya ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan istilah upah minimum, dulu disebut Upah Minimum regional, kemudian diganti dengan upah minimum provinsi, mungkin esok lusa entah upah minimum apa lagi, sesuai dengan namanya upan minimum maka yang diterima buruh sudah dapat dipastikan sangat minim.
Hari ini dan esok, eksploitasi yang dilakukan oleh para pemilik perusahaan terhadap kaum buruh harus dilawan. Kaum kapitalis pun terpaksa melakukan sejumlah revisi terhadap ide kebebasan kepemilikan dan kebebasan bekerja, dan tidak lagi menjadikan living cost terendah sebagai standar dalam penentuan gaji buruh. Maka, kontrak kerja pun akhirnya diikuti dengan sejumlah prinsip dan ketentuan yang bertujuan untuk melindungi buruh, memberikan hak kepada mereka yang sebelumnya tidak mereka dapatkan. Seperti kebebasan berserikat, hak membentuk serikat pekerja, hak mogok, pemberian dana pensiun, penghargaan dan sejumlah kompensasi lainnya. Mereka juga diberi hak upah tambahan, libur mingguan, jaminan berobat, dan sebagainya.
Soal upah ini seharusnya Pemerintah bersama DPR bisa membuat aturan perundang-undangan yang menjamin hidup dan kesejahteraan kaum buruh, dengan menetapkan ring pengupahan. Buruh, tenaga kerja atau apapun sebutannya, bukanlah sesuatu yang penting, hal yang menjadi tuntutan mereka sepanjang waktu adalah peningkatan kesejahteraan hidup, dan itu pulalah yang mereka perjuangkan di setiap ada kesempatan.
Masalah perburuhan yang terjadi sebenarnya dipicu oleh dasar yang digunakan oleh sistem Kapitalisme, yaitu kebebasan kepemilikan, kebebasan bekerja dan living cost terendah yang dijadikan sebagai standar penentuan gaji buruh. Karena itu, masalah perburuhan ini akan selalu ada selama relasi antara buruh dan majikan dibangun berdasarkan sistem ini. Meski mereka telah melakukan sejumlah tambal sulam untuk menyumbat kemarahan kaum buruh dan menghadapi provokasi kaum sosialis, namun tambal sulam ini secara natural hanya sekadar untuk mempertahankan sistem Kapitalisme. Tetapi, jika diklaim bahwa tambal sulam ini telah berhasil memecahkan masalah perburuhan, jelas hanya klaim bohong.[]